Buah dari Taqwa
Oleh: Meta Hayuningtyas *
Pemuda miskin, rajin, bersahaja dan istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Ia terkenal pemuda yang jujur dan amanah, Fauzan namanya. Ia bekerja sebagai penjaga kebun. Keramahan dan kehalusan tutur bahasanya serta akhlaknya. Hingga membuatnya dikagumi teman-temannya, penduduk di sekitar kebun dan menjadi idola gadis-gadis di desanya. Suatu hari Pak Abduh pemilik kebun itu memanggilnya.
“Fauzan, kemarilah! Tolong aku petikkan buah apel yang manis dan masak!” Ucap Pak Abduh yang merupakan pemilik kebun.
Fauzan seketika itu bergegas ke kebun. Ia memetikkan beberapa buah apel dan membawanya pada pemilik kebun. Ia menyerahkannya. Majikannya mencoba apel itu dengan penuh semangat. Namun apa yang terjadi ternyata apel yang dipetiknya mentah dan belum masak. Ia mencoba satu persatu dan semuanya tidak ada yang manis dan masak.
“Apakah kau tidak bisa membedakan mana yang masak dan yang belum masak? Mana yang manis dan tidak!” Ucap Pak Abduh penuh dengan kemarahan.
“Maafkan saya Pak, saya sama sekali belum pernah merasakan apel ini. Ada apel hijau, merah. Saya tidak mengetahui rasanya. Bagaimana saya bisa merasakan yang manis dan yang tidak.” Jawab Fauzan dengan tatapan wajah yang serius.
“Apa?! kamu sudah tiga tahun bekerja di sini dan menjaga kebun apel yang luas. Telah beberapa kali panen dan kau bilang belum merasakan apel? Tidak mungkin, suatu hal yang mustahil Fauzan! Kau berani-beraninya berkata seperti itu! Jangan permainkan aku!” Ungkap Pak Abduh pemilik kebun apel yang makin marah dengan suara yang makin tinggi.
“Demi Allah Pak, saya tidak pernah mencicipi satu buah apel pun. Bukankah Bapak hanya memerintahkan saya menjaganya dan tidak memberi izin pada saya untuk memakan atau mencicipinya?” Papar Fauzan.
Mendengar ucapannya, Pak Abduh sebagai pemilik kebun itu tersentak, terkejutnya bukan main. Namun ia tidak mudah percaya begitu saja. Ia lalu pergi dan meninggalkan Fauzan sendiri di kebun. Ia bergegas menemui dan bertanya pada teman-teman Fauzan beserta tetangga di sekitarnya tentang kebenaran ucapan Fauzan.
“Ramli, ke mari kau!”
“Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Ramli sembari berlari menghampiri Pak Abduh pemilik kebun.
“Bapak mau tanya, perihal tentang Fauzan. Apakah ia pernah mengambil atau memakan buah apel milikku?” Tanya Pak Abduh penuh heran.
“Iya Pak, Insya Allah Fauzan tidak pernah melakukannya. Selama ini saya tidak pernah melihat ia memakan buah apel. Jika ada yang jatuh, ia mengambilnya namun untuk di masukkan ke dalam keranjang.”
“Betulkah pernyataanmu Ramli? Apa bisa dipertanggung jawabkan?!” Tanya Pak Abduh.
”Jika Bapak masih ragu silahkan tanyakan pada pekerja yang lain, tetangga atau pada keluarganya Pak. Jangankan ia memakan buah apel yang harganya mahal atau pun apel milik Bapak. Makan sehari-hari pun ia jarang Pak. Ia selalu berpuasa, bisa dikatakan ia ahli puasa. Ungkap Ramli yang merupakan sahabat karibnya. Teman-teman yang lainnya pun mengakui bahwa Fauzan tidak pernah melihat makan apel. Tetangganya pun juga mengatakan hal yang sama.
“Pak, ia orang yang jujur. Selama ini saya tidak pernah lihat ia berbohong. Jika ia tidak pernah makan satu buah pun sejak bekerja di sini itu benar Pak!” Ucap Paijo salah satu teman pekerjanya yang bersaksi.
Kejadian itu benar-benar menyentuh hati Pak Abduh sang pemilik kebun. Diam-diam ia kagum dengan kejujuran pekerjanya itu. Untuk lebih meyankinkan dirinya, ia kembali memanggil Fauzan.
“Fauzan, sekali lagi aku tanya padamu. Apakah kau benar tidak makan satu buah pun selama menjaga kebun ini?”
“Benar Pak”
“Berilah aku alasan yang bisa aku terima!”
“Aku tidak tahu apakah Bapak akan menerima penjelasanku atau tidak. Saat pertama kali aku datang untuk bekerja menjaga kebun ini. Bapak mengatakan tugasku hanya menjaga kebun. Bapak tidak mengatakan aku boleh merasakan buah apel yang aku jaga. Selama ini aku menjaga agar perutku tidak dimasuki makanan yang syubhat apalagi yang haram. Karena tidak ada izin yang jelas dari pemiliknya. Maka aku tidak boleh memakannya. Meskipun apel itu jatuh ke tanah. Sebab itu bukan milikku, tidak halal bagiku. Kecuali jika pemiliknya mengizinkan aku boleh memakannya.”
Pak Abduh pemilik kebun itu berkaca-kaca. Ia sangat tersentuh dan terharu. Ia mengusap air matanya.
“Hai Fauzan, kau benar-benar berakhlak dan berhati mulia. Kini aku tahu bahwa kau jujur dan amanah. Bapak salut dan bangga padamu Nak. Kau pemuda yang shaleh. Tidak pernah aku menemui pemuda sepertimu! Fauzan, aku punya dua anak perempuan. Menurutmu aku harus mengawinkannya dengan siapa?”
“Orang Yahudi mengawinkan anaknya karena harta. Orang Nasrani mengawinkan karena keindahan. Orang Jawa mengawinkan karena bibit, bebet dan bobot. Orang Arab mengawinkan karena nasab dan keturunan. Sedangkan orang muslim mengawinkan anaknya pada seseorang karena melihat iman dan takwanya. Bapak tinggal pilih yang mana. Mau masuk golongan yang mana? Dan kawinkanlah putri-putrimu dengan orang yang kau anggap satu golongan denganmu.” Jawab Fauzan panjang lebar, menjelaskan sembari menundukkan kepalanya.
Laki-laki yang sangat sopan, berakhlak dan menjaga marwahnya. Kenapa tidak sedari dulu aku mengetahuinya? Seandainya aku tahu sejak dulu, maka anak sulungku sudah ku nikahkan dengannya dan mungkin aku sudah punya cucu darinya. Gumam Pak Abduh dalam hati.
“Fauzan, menurutmu anak gadisku yang mana dulu yang akan kunikahkan?” Tanya Pak Abduh untuk yang kedua kalinya.
“Oh maaf Pak, saya tidak berani menjawabnya. Itu adalah hak putri-putri Bapak.”
“Maksudmu? Apa aku harus bertanya pada mereka? bukankah mereka anakku yang sudah sepatutnya patuh atas keputusanku?!” Tanya pemilik kebun itu yang kebingungan.
“Maaf Pak bukan saya menggurui Bapak. Sewaktu saya SMA pernah guru Bahasa Indonesia saya bercerita tentang puisi Kahlil Gibran. Hal penting yang harus kita ketahui sebagai orang tua.”
Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri. Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu. Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu. Kau boleh memberi cintamu, tetapi bukan pikiranmu. Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri. Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka. Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu. Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu. Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin. Paparnya panjang lebar.
Malam hari menjelang, Pak Abduh bertanya pada kedua putrinya perihal maksud ayahnya. Putri sulungnya pun menjelaskan.
“Ayah, dahulu para ulama salaf, memahami standar kufu dalam menikahkan putri mereka adalah agama. Mereka tidak melihat harta dalam menikahkan putra-putrinya tapi melihat kualitas iman, takwa dan akhlak. Tak heran jika mereka lebih memilih miskin namun baik agamanya daripada yang kaya namun kurang agamanya.” Ucap Nafisah putri pertamanya.
“Baiklah esok aku temui pemuda yang Ayah maksud Nak.” Ucap Pak Abduh.
Pak Abduh sudah mendapatkan jawaban dari putri sulungnya bahwa ia bersedia menikah dengan Fauzan.
“Fauzan, kemarilah. Aku rasa tak ada yang lebih bertakwa darimu. Maka anak pertamaku bersedia menikah denganmu.” Kata Pak Abduh majikannya.
“Jangan Pak, saya orang miskin. Tidak memiliki apa-apa kecuali hanya sepeda motor ini yang saya punya. Saya hanya lulus SMA. Siapakah yang sudi menikahkan putrinya denganku?”
“Akulah yang akan menikahkanmu”
“Benarkah?”
“Ya benar. Aku akan menikahkanmu dengan putriku, jangan kau tolak pintaku Fauzan.”
Akhirnya pemilik kebun menikahkan putrinya dengan Fauzan. Dan merupakan kembang desa di kampung itu. Putri pemilik kebun itu ternyata cantik, shaleha dan cerdas. Ia hafal kitab Allah, memahami sunah nabi-Nya. Menikahkan salah seorang pekerjanya yang miskin dengan mahar tiga ratus ribu rupiah. Dengan kejujuran dan ketakwaan, Fauzan memperoleh nikmat yang agung dari Allah Swt.
Pemilik kebun memilih pekerjanya yang miskin itu. Namun ia tahu ketakwaan dan kedalaman ilmu agamanya serta keluasan pengetahuannya. Ia tidak memilih putra rekan bisnisnya atau orang kaya, pejabat yang memiliki kedudukan tinggi dan kaya. Ia sangat percaya bahwa putrinya akan selamat dunia dan akhirat jika berada dalam bimbingan suami yang bertakwa. Betapa mantapnya hati pemilik kebun tatkala menikahkan putri sulungnya itu.
* Guru Bahasa Indonesia SMA Muhammadiyah 3 Jember