Dua Kelompok Besar Aliran Politik dalam Tubuh Muhammadiyah
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Suli Da’im mengutip buku Ridho Al-Hamdi berjudul Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020) untuk menjelaskan sikap politik warga Muhammadiyah. Dalam buku itu dipaparkan, ada dua kelompok besar di Muhammadiyah dalam kaitannya dengan persepsi politik, yakni skripturalis-rasional dan substansialis-pragmatis. Skripturalis-rasional, yang secara dominan dianut oleh warga Muhammadiyah menekankan penghindaran terhadap keterlibatan langsung dalam politik praktis. Menganggap bahwa terlibat di dalamnya hanya akan membawa dampak negatif seperti terciptanya suasana konflik internal yang merugikan.
Sementara itu, warga persyarikatan tipe substansialis-pragmatis memiliki kesadaran untuk memperjuangkan keterlibatan aktif dalam politik praktis sebagai cara untuk mewujudkan cita-cita organisasi. Meski demikian, ini merupakan pandangan minoritas dalam Muhammadiyah.
“Tidak mudah menyatukan paham bahwa betapa penting politik itu sebagai bagian daripada dakwah kita. Kita memahami kan bahwa konteks dakwah, kalau kita tidak mempunyai jaringan kekuatan di posisi-posisi politik itu, gagasannya itu tidak akan mungkin kemudian bergabung pada kepentingan-kepentingan persyarikatan,” terangnya.
“Orang kan melihat, oh politik itu kotor ya, kemudian semata-mata memukul rata bahwa politik hanya memuliakan mereka saja yang terjun di dunia politik. Padahal di balik itu semua kan banyak hal yang strategis yang bisa kita hasilkan,” imbuhnya.
Terlepas dari tantangan tersebut, Suli Da’im mengapresiasi kinerja lembaga adhoc Jihad Politik Muhammadiyah (JipolMu) yang sebenarnya sudah baik. Untuk menjadi lebih baik ke depan, berbagai cara dapat dikembangkan. Misalnya menggunakan hasil survei dari berbagai lembaga sebagai pembanding. Tujuannya untuk memastikan bahwa kesimpulan yang diambil mengenai kelayakan seorang calon didukung data solid dari berbagai sumber. Survei-survei ini nantinya dapat dilakukan oleh berbagai kampus yang dimiliki Muhammadiyah.
“Perlu juga keseriusan pimpinan Persyarikatan, tidak sekadar kemudian diserahkan sepenuhnya pada JipolMu. Tapi, minimal ada ruang-ruang yang memang, dengan cara pimpinan Persyarikatan untuk mengonsolidasi, sampai jajaran di tingkat cabang, daerah, dan ranting. Itu sudah menjadi kekuatan yang dahsyat, gitu,” ujarnya.
“Saya kira tidak ada salahnya kalau ruang itu juga dilakukan oleh persyarikatan untuk mengantarkan kader-kader terbaiknya itu bisa berkontestasi. Apakah kemarin itu gerakan JipolMu betul-betul sudah membumi sampai di tingkat bawah? Jangan-jangan hanya di elitis saja. Belum kemudian itu terstruktur dan digerakkan sampai di tingkat bawah,” katanya. ZAKI