Penyebab Muhammadiyah Mudah Dirasuki Ideologi Lain
Sosiolog Muhammadiyah, Prof Zuly Qodir menjelaskan, jika merujuk kepada pendapat beberapa pakar, maka Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi yang real liberal. Maksudnya, secara gagasan, pemikiran dan gerakannya yang melampaui zaman kala itu. Misalnya dalam mendirikan rumah sakit, sekolah yang modern kala itu, dan lain-lain yang dianggap bukan berada di eranya.
“Tidak sesuai zamannya saat itu. Maka Kurzman misalnya, menyebut Muhammadiyah itu memang sebagai organisasi yang real liberal on mind, kira-kira begitu, karena gagasannya memang melampaui masanya,” tandasnya.
Zuly juga mengutip Deliar Noer, yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi modern, dalam artian secara pengelolaan hingga cara mengambil sisi ideologi organisasinya. Menurut dia, salah satu ciri ideologi organisasi modern adalah cenderung rasional.
“Rasional itu maksudnya, itu bermanfaat, kurang bermanfaat, atau tidak bermanfaat. Ini efisien atau tidak efisien. Pun dalam berpolitik juga begitu, mengikuti dengan cenderung lebih rasional,” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Zuly melihat, adanya kecenderungan untuk melakukan institusionalisasi peribadatan keagamaan sejak sekitar tahun 90-an, yang berpengaruh terhadap bagaiman cara pandang warga Persyarikatan terhadap praktik-praktik peribadatan Muhammadiyah juga mengalami pergeseran, terutama bagi warga Muhammadiyah yang baru bergabung, ataupun simpatisan.
“Nah, Muhammadiyah yang sejatinya adalah yang saya sebut di awal tadi the real liberal on mind itu kemudian dipandang kok Muhammadiyah tidak salat begini, tidak ibadah begitu, dan sebagainya. Padahal yang namanya salat, umroh, haji, dan lain-lain itu kan memang sudah diajarkan dan menjadi kewajiban agama Islam, Ini lho yang saya maksud soal institusionalisasi agama,” imbuh Zuly.
Lebih lanjut, Zuly menilai realitas yang demikian berpotensi menimbulkan pergeseran ideologi disebabkan setidaknya tiga hal, yang kesemuanya juga tengah menjangkiti tubuh Persyarikatan. Pertama, warga Muhammadiyah yang baru-baru atau sekadar simpatisan Muhammadiyah, mereka tidak benar-benar memahami Muhammadiyah, kemudian merasa bahwa kalau ibadah tidak diinstitusionalisasikan itu seolah tidak menjadi ibadah yang penting. Orang-orang inilah, kata Zuly, yang kemudian menganggap bahwa apa yang dilakukan Muhammadiyah tidak lagi memurnikan Islam. “Sehingga lebih memilih bergabung ke pengajian sebelahnya yang dianggap sangat memurnikan ajaran Islam,” sebutnya.
Kedua, adanya semacam kebosanan di kalangan warga Muhammadiyah dalam hal kaderisasi, yang cenderung kurang pembaruan. Termasuk pengajian-pengajian Muhammadiyah yang seolah-olah tidak ada pembaruan. Maka, menurut dia, perlu diformulasikan dengan tepat bagaimana membuat kaderisasi, maupun pengajian-pengajian Muhammadiyah lebih menarik.
“Ada kebosanan dalam hal-hal yang sifatnya kaderisasi, termasuk pengajian-pengajian Muhammadiyah karena formulasinya kurang ada perubahan dan terkesan hanya menyoalkan urusan-urusan fikih. Bukan berarti fikih tidak penting, tentu saja sangat penting, tetapi kan ada segmennya, ada levelnya. Saya ini mengikuti perkaderan sudah berkali-kali dari paling dasar sampai di tingkat pusat, pembahasannya itu-itu saja, terlalu fikihiyah,” seloroh Zuly.
“Padahal banyak hal lain kekinian yang tentu memerlukan pengkajian ideologis. Nah, ini dinamika, pengajian kita terlalu fikihyah. Itu penting, tetapi kita harus tahu segmennya, siapa yang menjadi sasaran dakwah itu. Misalnya saja, tabligh Muhammadiyah itu cenderung kaku dan datar, kurang tertawa atau mungkin terlalu berat. Ini koreksi tentang perkaderan,” tambahnya.
Ketiga, Zuly menyebut implikasi dari modernitas keorganisasian maupun ideologi Muhammadiyah, salah satunya membuat Persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912 ini sebagai organisasi yang juga moderat. Di sisi lain, moderatisme itu membawa dampak pada keterbukaan terhadap hal-hal lain di luarnya.
“Karena organisasi seperti Muhammadiyah ini adalah organisasi yang modern, sehingga dianggap moderat. Dan moderat ini adalah yang paling gampang dimasuki paham atau aliran atau ideologi politik dan keagamaan tertentu lainnya,” simpul alumnus doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu. MATAN