Infiltrasi Paham Salafi dalam Tubuh Muhammadiyah
Ketua PP Muhammadiyah Prof Syafiq A Mughni mengatakan, paham dan pemikiran keagamaan Muhammadiyah sebenarnya sudah tertuang dalam Risalah Islam Berkemajuan. Meski begitu, pihaknya memaklumi jika masih ada warga Muhammadiyah yang sebagian amaliah dan pemikirannya berbeda dengan Risalah tersebut. Beberapa dari mereka, ada yang cenderung mengamalkan pemahaman salafi. Perbedaan itu, menurut Syafiq, masih bisa ditoleransi selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar keagamaan.
“Kalau perbedaan itu pada hal-hal yang furu’iyah dan ikhtilafiyah, apalagi sepanjang belum di-tanfid oleh PP Muhammadiyah, itu masih ada ruang dialog dan masih ada toleransi. Tetapi kalau sampai pada perbedaan prinsip yang mendasar atau bertentangan, itu harus dikembalikan kepada Risalah Islam Berkemajuan. Tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.
Realitas di lapangan, banyak jamaah salafi yang mengaku warga Muhammadiyah, tapi tidak bersedia ikut mengembangkan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Mereka berada di dalam Muhammadiyah, tapi justru mendegradasi Persyarikatan. Mereka salat dan menggelar kajian di masjid-masjid Muhammadiyah, tapi tidak menyiarkan pikiran-pikiran Muhammadiyah. Karena itulah, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu dengan tegas mengatakan bahwa salafi itu layaknya benalu bagi Muhammadiyah.
“Mereka mengganggu kita. Menganggap Muhammadiyah tak mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Dianggap taqlid, khurafat, bid’ah. Padahal itu kan soal penafsiran saja. Misalnya kasus Adi Hidayat dan Salafi tentang musik. Itu kan sampai mengatakan kafir terhadap siapa yang membolehkan musik. Itu kan berarti memandang Muhammadiyah sudah kafir. Karena Muhammadiyah menghalalkan (musik), sepanjang itu baik dan bermanfaat,” tuturnya.
Sosiolog Muhammadiyah, Prof Zuly Qodir mengatakan, dari sisi teologis Muhammadiyah merupakan ‘perkawinan’ antara pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, serta dalam beberapa hal tertentu juga Ibnu Taimiyah. Sebab itu, menurut dia Muhammadiyah memiliki corak karakteristik yang berdinamika dengan latar kondisi sosial kemasyarakatan yang ada, tetapi dalam teologi keagamaan justru sebaliknya melakukan purifikasi.
Menurut dia, faktor purifikasi tersebut lah yang dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan warga Muhammadiyah terhadap infiltrasi paham salafi. “Karena itu begitu ada organisasi yang mengatakan dia merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, lalu dia (Salafi) juga menyebut ‘kami juga dalam rangka memurnikan paham keagamaan’. Maka itu, mereka lebih dekat dengan Muhammadiyah, bukan dengan NU,” tandas Zuly. MATAN