#Pilihan

Ulama hingga KPK dalam Kubangan Mutual Distrust

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti mengatakan, Indonesia sekarang mengalami masalah sosial yang sangat berat berupa mutual distrust (saling tidak percaya). Pemberantasan korupsi dipercayakan kepada KPK, tapi ternyata oknum KPK korupsi juga. Masyarakat mencari keadilan di pengadilan, tapi banyak hakim tidak amanah. Masyarakat meminta nasehat kepada ustad dan ulama, tetapi banyak ustad dan ulamanya juga bermasalah. Krisis kepercayaan ini tak bisa dianggap sebagai masalah sederhana. Karena implikasinya bisa terstruktur, massif, dan sistematis.

“Sekarang kita punya pemimpin yang ngawur. Dalam ungkapan klasik budaya Jawa itu Petruk dadi (jadi) ratu. Petruk ya maqamnya Petruk. Kok dadi ratu? Ya diobrak-abrik semuanya. Untungnya bangsa ini masih selamat. Muhammadiyah concern sejak lama terhadap persoalan bangsa tersebut. Jadi ini tidak bisa dibiarkan, tapi juga tidak bisa kemudian kita bubarkan negeri ini. Pilihannya, yang tidak bisa diambil semua jangan dibuang semuanya. Ini merupakan pilihan ahlussunnah yang sangat wasatiyah. Sehingga lembaga-lembaga harus tetap ada, pemimpin-pemimpin harus tetap ada. Tidak bisa negeri ini tanpa pemimpin,” tuturnya.

Sebagai salah satu pendiri bangsa, Muhammadiyah harus berperan dan berikhtiar agar pemimpin negara ini menjadi amanah dan memenuhi janji-janjinya. “Walaupun seandainya pemimpin yang terpilih itu bukan yang dikehendaki, tapi itulah realitas demokrasi yang suka tidak suka itu akan terjadi. Dan itu akan menjadi bagian dari regulasi negeri kita,” katanya.

Agar para pemimpin itu bisa tetap menjaga amanah dan menepati janji-janjinya, masyarakat bisa melakukan peran kontrol. Pertama adalah kontrol politik. Dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, DPR, Parpol, lembaga-lembaga independen dan juga oleh masyarakat sipil. Kedua adalah kontrol sosial. Bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu memberi sanksi sosial kepada para pemimpin yang tidak menepati janjinya. Di banyak negara maju, sanksi sosial itu sangat berat. Sehingga banyak pemimpin mundur karena lebih takut kepada sanksi sosial daripada sanksi politik.

Kedua, kontrol sosial itu berupa memberikan keteladanan sebagai pribadi dan institusi yang amanah.  “Keteladan ini dalam konteks tertentu bisa menjadi counter culture. Jadi, setidaknya bertahan supaya tidak hanyut di dalam arus yang begitu kuat. Itu yang di dalam hadis nabi disebut seperti memegang bara dengan genggaman tangan. Beratnya luar biasa. Atau kita berani melawan arus. Tapi kalau anggotanya sedikit dan miskin-miskin kok melawan ya bisa kita bayangkan sendiri. Sehingga pilihan melakukan kontrol sosial itu bisa kita lakukan dengan tidak ikut arus dengan memberikan counter culture,” ujarnya.

Ketiga, kontrol spiritual. Para pemimpin harus didampingi secara spiritual supaya berada di dalam jalan yang benar. Kontrol ini pernah dilakukan di era Orde Baru dan cukup berhasil. Pada masa awal kepemimpinannya, Soeharto tidak cukup dekat dengan Ormas Islam. Termasuk dengan Muhammadiyah. Tapi di masa-masa akhirnya, ketika didampingi para kiyai, dia jadi religius. Bahkan semakin saleh ketika Ibu Tin meninggal dunia.

Dalam kaitannya sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah bisa melakukan ketiganya, yakni kontrol politik, sosial, maupun spiritual. Secara politik Muhammadiyah bisa mengontrol melalui kritik-kritik atas kebijakan. Itu sudah sering dilakukan oleh Muhammadiyah dan sebagian berhasil. Muhammadiyah juga sudah banyak melakukan kontrol sosial apalagi spiritual.

“Muhammadiyah harus terus melakukan komunikasi dengan para penyelenggara negara agar mereka senantiasa dapat menunaikan amanahnya. Muhammadiyah bisa memberikan masukan agar mereka bekerja dengan baik. Inilah menurut saya peran yang bisa dimainkan oleh Muhammadiyah sehingga kita tetap berada pada khittah dan kepribadian sebagai gerakan dakwah dan kemudian kita mengaktualisasikan dakwah itu dalam ranah kebangsaan dengan peran-peran yang bermakna,” katanya. MATAN

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *