#Artikel

Ketum Muhammadiyah: Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi Melenceng dari Pancasila

Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengatakan, sistem politik Indonesia pasca reformasi telah jauh berbeda dengan semangat dan bunyi dari sila keempat Pancasila, berganti dengan sistem demokrasi yang lebih liberal. Dia menilai, konsep musyawarah sila keempat telah hilang, konsep kebijaksanaannya juga hilang, pun dengan konsep perwakilan, yang menurutnya sudah semakin samar.

“Tapi itu pilihan, kan reformasi sudah memilih itu, nyabutnya juga susah. Jadi sistem politiknya juga mengunci seperti itu,” tandasnya.

Menurut Haedar, dalam konteks kepemimpinan negara, amanat yang bersifat nilai seharusnya menjadi state of mind dan ditunaikan oleh para pemimpin negara. “Indonesia ini secara arif oleh para pendiri bangsa, termasuk dari Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, bahkan Bung Karno juga menyebut sebagai world view, di mana bangunan Indonesia itu diletakkan di atas dasar itu,” tandasnya.

“Artinya Pancasila sebagai nilai dasar itu mesti menjadi beban, tanggung jawab, dan kewajiban bagi para penyelenggara negara, pemimpin negara di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, lembaga-lembaga auxalary dan seluruh komponen bangsa untuk diwujudkan dalam kehidupan, setidak-tidaknya itu menjadi acuan dalam berperilaku dan mengambil kebijakan. Nah, kita lihat praktiknya bagaimana? Praktiknya itu tidak mudah,” sambung Haedar.

Guru Besar Bidang Sosiologi UM Yogyakarta itu berkisah, Bung Karno, dengan kehebatan dan perjuangannya, dengan ketulusannya, nyatanya ketika memimpin Indonesia pada akhirnya harus berujung dengan tragedi. Pun begitu dengan penerusnya, Soeharto, seorang militer, yang di ujung kekuasaannya juga harus dilengserkan secara tidak normal.

“Apalagi sekarang, apakah para pemimpin bangsa di eksekutif, nanti presiden, wakil presiden, kemudian di legislatif, jangan lupa itu nanti yang akan mewakili rakyat dalam merumuskan dan menentukan Undang-undang (UU), itu juga akan menjadi faktor penting di dalam kepemimpinan Indonesia. Apakah mereka mengimplementasikan Pancasila?” tanyanya.

Selain amanat nilai para pemimpin harus berpegang pada amanat sejarah. Bukan hanya memahami, mereka juga harus menghayati sejarah bangsa. “Apakah para pemimpin Indonesia benar-benar menghayati sejarah perjuangan bangsa kita, ratusan tahun untuk merdeka? Pemahaman sejarah memang perlu knowledge, kognisi. Tapi penghayatan sejarah itu memerlukan rasa, memerlukan hati. Pertanyaannya, apakah mereka menghayati betul amanat sejarah ini?” tuturnya.

“Perlu juga, lebih-lebih yang di legislatif itu, mereka mungkin perlu di-upgrade tentang sejarah Indonesia itu. Apalagi yang muncul itu banyak yang orang-orang terkenal, yang populer, terus jadi, yang mungkin pemahaman sejarahnya juga terbatas,” kritik Haedar. MATAN

1 Comment

  1. Mujadid
    25th Jul 2024 Reply

    Pesan – pesan moral kebangsaan yang luar biasa dari pak Haedar, semoga melekat dalam pikiran dan hati para pembaca dari generasi ke generasi, demi Indonesiaku di masa yang akan datang

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *