4 Penyebab Banyaknya Koruptor di Indonesia
Dosen Sosiologi UNESA Dr Agus Machfud Fauzi MSi, mengatakan ada empat faktor penyebab maraknya korupsi di Indonesia. Pertama, ketidakstabilan sistem politik Indonesia. Ada sejumlah politisi muda yang belum siap, namun mendapat kesempatan dan akhirnya terpilih. Karena secara mental belum matang, akibatnya mereka menyalahgunakan jabatan dengan melakukan korupsi.
“Mereka memang awalnya belum ada niat korupsi, tapi karena ada kesempatan akhirnya korupsi. Beberapa orang yang naik jabatan politik itu mendadak. Ungkapan Jawanya ‘Kere Munggah Bale’ (Miskin naik balai). Karena proses rekrutmen pejabat atau elit kita belum sustainable,” tuturnya.
Kedua, sambung Agus, regulasi yang belum mampu memberi shock therapy terhadap koruptor dan calon koruptor. Bukan berarti tidak ada hukuman bagi pelaku korupsi. Tindak pidana bagi pelaku korupsi dari zaman Orde Lama hingga Orde Baru sebenarnya sudah ada. Lebih ditekankan lagi ketika muncul Undang-Undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) pada 1999 dan lembaga KPK pada 2003.
“Menurut saya UU Tipikor sebatas formalitas saja atau sekadar proses tindak hukum kepada pelaku korupsi. Belum mampu memberikan kesadaran bagi koruptor dan calon koruptor,” ujarnya.
Ketiga, adalah faktor budaya. Menurutnya budaya Indonesia merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang masih melekat. Misal dalam lingkungan pesantren, memberikan hadiah kepada kyai, itu biasa. Menjadi luar biasa ketika itu diungkap ke publik kemudian dibenturkan antara hukum dan budaya. Itu terjadi karena budaya yang diturunkan Belanda berbeda dengan realitas yang ada di dalam UU. Akhirnya di satu sisi ada yang membolehkan dan di lain sisi melarang.
“Karena sifatnya yang abu-abu inilah, mudah dimainkan oleh orang-orang yang punya kepentingan. Regulasi kita belum sampai menyentuh hal itu. Karena pemberian di sini bukan dimaksudkan suap-menyuap. Melainkan sebuah penghormatan dari santri kepada kyai meskipun santrinya adalah orang elit,” ungkapnya.
Keempat faktor kenakalan oknum elit politik di pemerintahan. Kenakalan yang dimaksud adalah piawai menyiasati proyek aga bisa dikorupsi. Mirisnya, tidak hanya di level pemerintah pusat, tapi juga di tingkat kabupaten dan kotamadya.
“Misal korupsi di atas Rp 200 juta itu dapat dipidanakan. Di bawah Rp 200 juta sanksinya ringan. Kalau ada 10 proyek kan sudah Rp 1 miliar lebih. Seandainya ada vonis hukum mati koruptor, selesai. Contoh koruptor kakap yang merugikan negara dihukum mati atau ditembak mati. Meskipun mungkin ini bertolak belakang dengan HAM, atau kalau tidak gitu dihukum seumur hidup saja,” ujarnya geram. MTN