#Pilihan #Sosial

Ribuan Anak TKI Malaysia Terlantar hingga Tak Bisa Sekolah, Muhammadiyah Ikhtiar Turun Tangan

Ada ribuan anak keturunan Indonesia yang kini terpaksa hidup ‘terbuang’ di Negeri Jiran. Penyebabnya, Pemerintah Malaysia menerapkan aturan ketat terkait pernikahan pekerja migran. Tentu ini menjadi ironi. Para pekerja migran yang dianggap sebagai pahlawan devisa, justru anaknya terlunta-lunta di negeri tetangga. Mereka dianggap lahir tanpa legalitas, sehingga tidak bisa mendapat hak-hak kewarganegaraan. Termasuk dalam mengakses bangku pendidikan. Permasalahan ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun sampai sekarang tidak pernah ada solusinya.

Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Johor Bahru Sigit Suryantoro Widiyanto menguraikan, pihaknya telah mengeluarkan 2.871 dokumen kelahiran anak sejak tahun 2006 sampai 2023. Jika ditarik di umur sekarang, maka yang masuk masa sekolah ada sekitar 1.500 anak. Saking banyaknya anak tanpa izin tinggal, Sigit mengaku kerepotan untuk mengetahui data pastinya.

“Kalau guyonan saya itu, ada beberapa rahasia Tuhan, yaitu hidup-mati, takdir baik-buruk, dan satu lagi, WNI di Malaysia. Kita sulit untuk mendeteksi itu. Kita hanya bisa memperkirakan berdasarkan surat keterangan kelahiran dan data-data resmi yang masuk ke kami,” katanya.

Karena mereka tak dapat akses dalam mengenyam pendidikan, pemerintah melalui KJRI Johor Bahru lalu membuat sanggar belajar. Sanggar ini sudah disetarakan hingga tingkat SMP, sekalipun belum mendapatkan izin dari pemerintah Malaysia. “Sekarang sudah ada 310 murid. Namun, 99% dari murid itu adalah mereka yang tidak punya izin tinggal itu,” terangnya.

Setelah lulus SMP, mereka diberi dua pilihan. Pertama, kembali ke orang tua yang masih menjadi penduduk ilegal di Malaysia. Kedua, pulang dan melanjutkan pendidikan di Indonesia. Sehingga diharapkan bisa membuka jalan mengubah nasib. Konsekuensinya, mereka akan berpisah dengan orang tua. “Sebab akan sangat sulit untuk keluar-masuk negara. Bahkan dikenakan hukuman, baik denda maupun pidana. Dan dia tidak bisa masuk lagi ke Malaysia selama 5 tahun,” kata Sigit.

PWM Jatim Beri Beasiswa

Pemerintah tengah mencari pull factor (daya tarik) agar mereka mau pulang ke Indonesia. Salah satunya dengan menyediakan beasiswa ADEM (Afirmasi Pendidikan Menengah), meskipun belum bisa menjangkau semuanya. KJRI sudah menyampaikan permasalahan ini ke berbagai pihak, namun belum ada yang menanggapi. Hingga akhirnya, keluh kesah itu sampai kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dan disambut dengan baik. Tak tanggung-tanggung, PWM Jatim bersedia meng-cover keberlangsungan pendidikan anak-anak PMI sampai tuntas.

Maka, pada Senin (23/10), di Aula Mas Mansyur Kantor PWM Jatim, Surabaya, kedua pihak menandatangani kerja sama program beasiswa repatriasi untuk anak-anak PMI di Malaysia. Penandatanganan MoU disaksikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jatim, Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim, beserta sekolah Muhammadiyah terkait.

“Mengapa Muhammadiyah Jawa Timur? Karena memang yang menyambut positif adalah Muhammadiyah Jawa Timur, dan kami tentu sangat mengapresiasi itu dan berharap bisa dimassifkan lagi. Kami juga mencoba kerjasama dengan berbagai pihak lain. Dengan adanya kerjasama dengan berbagai pihak, tentu harapannya masalah ini bisa cepat terurai,” harap Sigit.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Tamhid Masyhudi mengatakan, problem ini harus menjadi perhatian bagi seluruh elemen, tak terkecuali pemerintah. “Pemerintah harus lebih serius menangani problematika ini. Terlebih PMI memiliki peran penting bagi negara. Mereka adalah salah satu penyumbang devisa terbesar. Negara harus lebih konkret untuk menemukan solusinya. Apalagi problem ini juga menyangkut nasib generasi muda bangsa yang harus ekstra diperhatikan masa depan mereka,” pintanya.

PWM Jatim kini juga telah mempersiapkan audiensi untuk membawa problem ini kepada pihak-pihak terkait. Mulai dari Dinas Pendidikan Provinsi Jatim sampai Gurbernur Jatim. “Melalui Majelis Didasmen PWM Jatim, kami akan terus melakukan serangkaian koordinasi untuk mencari jalan keluar sementara. Sebab jika dibiarkan, maka anak-anak tersebut bisa menjadi tenaga kerja ilegal di Malaysia. Ini tentu akan menimbulkan masalah baru. Semua elemen harus turut berpartisipasi. Perhatian bisa dilakukan dengan sosialisasi masif di setiap daerah bagi mereka yang akan bekerja di luar negeri,” pungkasnya.

Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim Khozin menuturkan, program repatriasi ini merupakan salah satu bentuk dari internasionalisasi Muhammadiyah. “Muhammadiyah sudah banyak membantu anak-anak Indonesia. Seperti bantuan sekolah Muhammadiyah kepada anak-anak panti asuhan yang cukup besar jumlahnya. Namun sekarang ini eranya internasional supaya selaras dengan misi Muhammadiyah yang menginternasional. Anak-anak Pekerja Migran di wilayah Konsulat Jenderal Johor Bahru Malaysia perlu ditolong agar mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik. Karena kebanyakan dari mereka di sana hanya menempuh Pendidikan non-formal,” ungkapnya.

Khozin mengungkapkan, pada Oktober-November tahun 2022, pimpinan Persyarikatan sudah mengadakan dialog dengan melibatkan Majelis Dikdasmen untuk membahas program tersebut. Rencananya ada 23 anak yang mendapat beasiswa. Namun, yang mau kembali ke Indonesia hanya 14 anak.

“Karena memang ada persoalan psikologis di mana orang tua tidak mudah melepas anak mereka ke Indonesia. Sementara 14 anak lainnya memutuskan kembali ke Indonesia agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Karena bagaimanapun status mereka itu warga negara Indonesia walaupun non-dokumen,” bebernya.

Sementara itu Kemendikbud, menurut Khozin, belum bisa meng-cover anak-anak PMI karena berkenaan dengan prosedural. Pengurusan prosedur sekolah negeri tidak semudah seperti Muhammadiyah. “Mungkin dalam pikiran mereka (Konjen) yang agak mudah itu Muhammadiyah. Mengapa mereka tidak memilih sekolah negeri? Karena ini tidak sederhana dan nyaris semua sekolah negeri tidak berasrama. Sementara, Muhammadiyah menyediakan tempat tinggalnya, karena itu dipilihkan sekolah yang ada boarding schoolnya. Termasuk biaya kebutuhan yang lainnya dan kalau itu lewat birokrasi sekolah negeri tidak mudah mengurus itu,” tuturnya.

Saat ini bantuan beasiswa direncanakan hanya sampai lulus SMA/SMK. Adapun sekolah yang menerima 14 anak tersebut diantaranya SMAMDA Surabaya, SMAMDA Sidoarjo, SMAM 1 Kota Malang, SMKM 3 Mojokerto, SMAM 2 Ngawi, dan SMK Mutu Gondanglegi Kabupaten Malang.

“Sebenarnya masih banyak sekolah Muhammadiyah yang sanggup menerima mereka. Diantaranya MA Al Mizan di Lamongan, MA, SMA, SMK di pondok Karang Asem juga siap. Sayangnya kemarin mereka tidak kebagian,” pungkasnya.

Tantangan Anak PMI Sekolah di Indonesia

Putri Farah Serryna, adalah salah satu anak yang menerima program beasiswa tersebut. Remaja berdarah campuran Malaysia-Indonesia itu akhirnya bisa pulang ke tanah air dan mendapatkan beasiswa sekolah di SMA Muhammadiyah 2 (SMAMDA) Surabaya.

“Waktu dipulangkan ke Indonesia itu Agustus (2023). Ada 5 anak termasuk saya. Satu sekolah di SMAMDA Sidoarjo, dua anak sekolah di SMK MUTU Gondanglegi, dan satu lagi sekolah di SMA Muhammadiyah di Ngawi,” urainya.

Dirinya tidak menyangka bisa mendapatkan beasiswa ini. Walaupun, tidak mudah membujuk kedua orang tuanya agar dia bisa meneruskan pendidikan di Indonesia. “Mula-mulanya ditolak. Sampai membutuhkan masa berbulan-bulan untuk membujuk ibu dan ayah. Ayah saya (asli Malaysia) yang paling susah dibujuk. Kalau ibu tidak susah, karena dari Indonesia (Kediri) dan kebetulan dia pernah sekolah di SMAMDA Surabaya,” ungkapnya.

Farah mengaku masih menjadi bagian dari warga Negara Indonesia meski memiliki darah keturunan Malaysia. Sebab setiap keturunan Malaysia campuran mendapat IC (Identity Card) warna merah (warga asing). Sedangkan syaratnya mendapat IC biru (warga Malaysia) adalah menikah dengan warga asli Malaysia.

“Sebenarnya saya bisa saja menjadi warga Negara Malaysia. Karena dulu dokumen saya belum disiapkan jadinya tidak bisa. Ketika saya mendengar dapat beasiswa sekolah dengan fasilitas wisma di Indonesia, akhirnya saya ingin  sekolah di Indonesia. Karena saya dahulu sekolahnya di Indonesia (Sekolah Indonesia Johor Bahru),” ujarnya.

Ketika baru tiba, Farah mengaku sulit beradaptasi dalam tiga bulan pertama. Karena ada perbedaan cara berkomunikasi yang masih tercampur dengan Bahasa Inggris. “Mereka (teman-temannya di SMAMDA) itu rela mengajari saya berbahasa Indonesia. Jadi tidak terlalu susah bagi saya. Ini juga pengalaman baru untuk saya karena tidak pernah tinggal di sini,” katanya.

Dia juga pernah merasakan homesick. Tidak jarang tiap malam menangis. “Saya mengatakan pada diri saya, bagaimana bisa nyaman dengan lingkungan baru saya? Maka saya harus ngobrol dengan teman-teman di boarding school,” terangnya.

Setelah lulus, dia berencana pulang untuk mendapatkan kewarganegaraan Malaysia. Ia juga ingin mendaftar sekolah pramugari di Malaysia. “Kewarganegaraan saya belum jelas, juga tidak tahu apakah nanti di masa depan akan berubah pikiran, karena masih tiga bulan. Nanti kalau sudah tiga tahun saya bisa memilih mau ngapain ke depannya,” ujarnya. ZAKI, UBAY, SYAHRONI

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *