#Artikel

Bedah Perubahan Gaya Kepemimpinan Jokowi dari Periode Pertama hingga Kedua

Eep Saefulloh Fatah, CEO PolMark Indonesia melihat ada perbedaan gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo di periode pertama dan kedua. Di periode kepemimpinan pertama, Eep menyebut sebagai periode Presiden Joko. Sedangkan dalam periode kedua adalah periode Presiden Widodo. Periode presiden Joko mewakili harapan masyarakat, sedangkan periode Presiden Widodo mewakili kecemasan masyarakat.

“Pada awal periode pertama, Presiden Joko ketika mau membentuk kabinet, maka daftar nama calon menteri diajukan ke KPK. Sedangkan di awal 2019, Presiden Widodo merevisi Undang-undang KPK, dan membuat KPK tidak lagi punya keleluasaan dan kekuasaan sebesar sebelumnya. Dan ketika merekrut kabinet tidak lagi melibatkan KPK untuk menilai catatan atau record setiap orang,” paparnya

Dalam sidang kabinet pertama yang dipimpin Joko di periode pertama kepemimpinannya, Presiden membuat pernyataan bahwa yang menjadi pengurus partai politik harus mengundurkan diri. Ketika salah seorang menteri bertanya, apakah termasuk dirinya yang menjabat sebagai wakil ketua umum partainya. Maka pertanyaan itu dijawab presiden Joko dengan mengulang pernyataannya.

“Basisnya adalah ketika seseorang menjadi pejabat negara maka loyalitasnya yang sempit harus diakhiri. Semua potensi konflik kepentingan harus dihilangkan. Salah satu yang dramatis adalah harus mundurnya pak Wiranto yang dipilih menjadi Menko Polhukam dari partai yang didirikannya (Hanura),” urainya

Sebaliknya dalam periode Presiden Widodo malah semakin senang mengumpulkan ketua umum partai menjadi menterinya. Sehingga alih-alih menghindari konflik kepentingan, justru malah melembagakannya. “Itulah yang saya sebut sebagai periode harapan digantikan dengan periode kecemasan,” simpulnya.

Dia mengatakan sangat sulit mencari pemimpin yang amanah dalam demokrasi. Terlepas kriteria pemimpin dalam Islam bahwa harus tabligh, siddiq, fatonah, dan amanah. Namun dalam teori demokrasi, pemimpin itu harus punya tiga kualitas.

“Kualitas yang pertama adalah punya gagasan dalam berdemokrasi yang mumpuni, disebut sebagai ‘democratic mind’. Ilmunya cukup untuk berdemokrasi, pengetahuannya cukup tentang demokrasi, pemahamannya cukup tentang perbandingan praktik-praktik demokrasi di berbagai negara. Kalau orang memiliki itu maka kita sebut ia punya democratic mind yang cukup,” terangnya.

Kedua sambung Eep, adalah perilaku berdemokrasi, ‘democratic atitude’. Yakni perilaku demokrasi yang membuat seorang pemimpin layak diteladani. Sehingga setiap orang yang dipimpin berperilaku baik, baik dalam berbangsa, beragama, maupun bermasyarakat.

“Ketiga democratic skill, keterampilan berdemokrasi. Keterampilan berdemokrasi kalau hilang aspek demokrasinya bisa tetap terampil, tapi kita ubah demokrasinya menjadi Political skill. kemampuan bersiasah, kemampuan berpolitik, dengan kehilangan nilai demokrasi,” sambung pengamat yang kini aktif  dalam gerakan pemakzulan Jokowi itu.

Menurutnya, terkadang ada pemimpin yang memiliki democratic mind yang luar biasa, namun pada saat yang sama political skill-nya terbatas. KH Abdurrahman Wahid salah satu contohnya. Itulah mengapa Gus Dur dimakzulkan dengan cepat, karena mengambil keputusan untuk membubarkan DPR dan MPR yang  bertentangan dengan isi konstitusi UUD 1945.  “Ada yang sebaliknya, political skill-nya luar biasa sampai kemudian sebegitu luar biasanya political skill itu, sampai kriteria democratic attitude dan democratic mind-nya tidak kelihatan. Menurut saya contoh terbaiknya adalah presiden Jokowi,” katanya. MATAN

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *