Cerita Muhammadiyah Melawan DPR, Hadang RUU Sumbang
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengisahkan perjuangannya melawan DPR selama satu periode ke belakang memimpin Muhammadiyah. Haedar beserta jajarannya di PP Muhammadiyah mengaku telah berusaha mengawal, mengkritisi, bahkan menghadang sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) agar tidak menjadi Undang-undang (UU).
“Tapi apa yang terjadi? Ada yang berhasil, tapi banyak yang tidak berhasil. Karena apa? Kekuatan ormas, apalagi Muhammadiyah yang sendirian, kita (dalam banyak kasus) kebanyakan sendirian, berhadapan dengan DPR,” kisahnya.
Sebab itu, Haedar meyakini, dinamika dan segala kecarut-marutan situasi politik hari ini adalah sebagai resultan atas segala koalisi serta praktik dan tindakan dari berbagai elemen yang berada dalam struktur negara, termasuk partai politik (parpol).“Bahwa mereka kemudian berpisah ketika Pilpres menjadi tiga kelompok, itu pragmatis saja. Tapi mereka sebenarnya bertanggung jawab terhadap berbagai situasi yang sekarang ini terjadi,” tandasnya.
“Dulu kami, kalau ada suatu pasal yang begitu rupa itu nggak gampang, lewat jalur personal, lewat jalur tokoh, lewat pernyataan resmi, bahkan juga ada demo, tapi juga ya summumbukmun fahum la yarji’un. Baru (sekarang) setelah berada di tempat yang berbeda, saling keluar pernyataan-pernyataan yang saling menyerang. Dulu bapak/ibu sekalian di mana toh? Dulu bermesra-mesraan saja kan? Maka ketika mereka yang seperti itu juga dorong-dorong kami, ya kami tetap moderat,” tutur Haedar.
Bagi dia, Para parpol tersebut turut menjadi pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan layak untuk dituntut atas situasi politik hari ini. Bukan malah meminta Muhammadiyah sebagai ormas untuk berbuat lebih dan mengambil peran-peran politik tersebut, sebab itu bukanlah ranahnya Muhammadiyah. “Mereka bertanggung jawab dan layak kita tuntut semuanya kalau menurut saya, semua partai politik itu, bertanggung jawab terhadap situasi sekarang ini,” sergahnya.
Menurut dia, tugas seorang pemimpin negara adalah sama dengan dan melekat dengan sistem pemerintahan negara, yakni untuk melindungi seluruh tumpah darah dan Bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan perdamaian dunia. Hal itu, kata dia, harus menjadi state of mind para pemimpin negara.
“Tapi manusia itu kan memang, entah kekurangannya atau kelebihan, konstitusi sehebat apa pun itu kan selalu dicari celah, dicari akal untuk menyiasatinya. Bahkan di dalam beberapa hal orang itu punya sikap ‘halah’, menghindar atau mencari jalan yang mudah, supaya tidak terkena imperatif konstitusi,” sebut Haedar.
Baginya, kunci atas persoalan ini adalah pada moralitas, ruhani, serta batiniyah para pemimpin bangsa tersebut. Agar terjadi ketaatan konstitusi, selain memahami tentang konstitusi, menurut Haedar juga harus ada kesediaan jiwa futuwah, yakni jiwa kenegarawanan untuk tegak lurus di atas konstitusi. “Amanat konstitusi ini sangat berat,” tuturnya. MATAN