Ada Kelompok Elit Penghambat Visi Muhammadiyah
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjelaskan, dalam buku karya David Rothkopf, ‘ Superclass; Kekuasaan elit global dan dunia yang mereka ciptakan , memaparkan, ada tiga kelompok yang menentukan perubahan global dan nasional. Tiga kelompok elit yang sangat menentukan perubahan dunia tersebut adalah orang kaya, ilmuwan, dan seniman.
“Orang seperti ini yang menentukan sekali dalam pemilihan DPR, DPD, dan Pilpres,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Misalnya money politic. Mu’ti melihat fenomena yang terjadi di tingkat nasional terkait istilah NPWP ( Nomer Piro Wani Piro) sangat laku di dunia politik. Gerakan orang-orang kaya ini telah lama terlibat dalam menentukan arah pembahasan pasal-pasal pengesahan UU di parlemen.
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menilai, konsep khairu ummah yang dikaitkan dengan konsepsi peradaban Islam dan tujuan Muhammadiyah akan sulit tercapai jika masyarakat mudah terdikte kelompok elit. Mu’ti mencermati, konsep khairu ummah seperti termaktub dalam QS ali Imran: 110 itu dapat dipahami dari dua pendekatan; masyarakat yang dibayangkan atau dicita-citakan (the imagining society ) dan masyarakat Islam yang mencapai puncak prestasinya sebagaimana yang pernah dialami pada zaman Rasulullah.
Sebagaimana tertulis dalam ayat itu, khairu ummah menjalin hubungan dengan tiga hal, yakni mengajak kepada kebaikan, mencegah dari hal kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Tiga ciri itu melekat menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan.
Khairu ummah adalah masyarakat Islam, umat Muhammad, umat terbaik dan memberi manfaat bagi kemanusiaan. Dengan mengutip pendapat Prof Fazlur Rahman dari Universitas Chicago AS, dikatakan, “Umat yang ideal, terbaik, dan menengah.”
Secara lebih empiris, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyandingkan kajian ini dengan konsep masyarakat Islam yang sering diucapkan dalam berbagai kesempatan. Mengutip pandangan Ahmad Salaby, Haedar hendak menekankan bahwa masyarakat Islam sejatinya telah terbentuk di zaman Rasulullah saat di Madinah. Sedangkan sebelum itu Rasulullah baru fokus pada pembinaan privat-pribadi muslim di Mekkah yang kemudian menjadi soko guru masyarakat Islam di Madinah al Munawwarah.
Mengenai identitas Islam yang melekat dalam sebutan itu, Haedar memaparkan, Islam sebagai identitas tidak dapat ditinggalkan dan dihindari sebagai sesuatu yang melekat dalam diri seorang muslim kapan saja dan di mana saja. “Pihak lain tidak boleh melarang dan menuduh bahwa identitas Islam sebagai sesuatu yang buruk, ekstrem, radikal, dan sebutan negatif lainnya. Pemeluk agama lain juga memiliki hak yang sama untuk menunjukkan identitas keagamaannya. Semuanya melindungi UUD dan hak asasi manusia,” tandasnya.
Orang nomor satu di Persyarikatan itu mengingatkan, jangan dianggap buruk bila umat Islam menggaungkan “Aku Muslim,” “Aku Islam,” “Aku Muhammadiyah,” “Aku NU,” dan seterusnya. “Jangan pula masyarakat Islam dikaitkan dengan DI/TII, belakangan muncul radikalisme, terorisme, ekstremisme, dan segala bau-bau negatif lainnya,” tandasnya. MATAN