Guru Besar UINSA: Hukum Indonesia Jadi Momok Orang Miskin
Guru Besar UINSA Surabaya Prof Achmad Jainuri menjelaskan, persoalan krusial Negara Indonesia adalah hukum. Masyarakat Indonesia susah diatur. Sementara ketenangan itu bisa dicapai ketika hukum dapat ditegakkan. Hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sampai saat ini masih menjadi momok bagi masyarakat miskin. Namun bagi mereka yang tahu dan paham hukum, kondisi itu dianggap biasa saja. Mereka tidak takut melanggar aturan. Buktinya banyak dari kalangan atas bahkan DPR yang tidak taat hukum.
“Almarhum dosen saya pernah mengatakan bahwa Indonesia itu surganya orang berbuat salah. Saya tidak mengatakan oknum. Itu karena saking banyaknya. Yang tertangkap kan itu yang ketahuan, sedangkan yang belum kan banyak,” celetuk Penasehat PWM Jatim ini.
Jainuri mengungkapkan, adanya fenomena ini disebabkan karena mereka yang paham hukum suka mencari celah supaya bisa melanggar bukan menaati. Padahal, seharusnya seluruh masyarakat wajib menaati aturan dan tidak boleh lagi diperdebatkan, meskipun regulasi itu memiliki banyak kekurangan. Sehingga tidak terjadi main hakim sendiri.
“Kalau berdebat, ya di pengadilan. kita Sebelum adanya proses hukum kita tidak boleh membuat kesimpulan dan menghakimi. Ironisnya itu yang terjadi di masyarakat kita, suka main hakim sendiri. Para regulator di sini harusnya bertanggungjawab atas terwujudnya sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun lembaga tinggi negara kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka terkooptasi oleh eksekutif yang memperoleh kekuasaan. Begitupula lembaga yudikatif, pengadilan justru digunakan sebagai alat kekuasaan. Beberapa kasus yang ada lembaga tinggi negara seperti KPK, KY, MK, itu banyak dipersoalkan oleh ahli hukum. Itu mengindikasikan bahwa ada perbedaan persepsi tentang keadilan,” urainya.
Saat ini, para penegak hukum hanya bisa berteori. Sebagaimana yang pernah Almarhum Buya Syafi’i katakan, ‘tidak ketemu antara ucapan dengan tindakan’. Banyak pejabat tinggi negara menyebutkan kasus dan data namun tidak ada penyelesaiannya. Hanya sedikit saja yang benar-benar tuntas. Dia kemudian mengutip pernyataan Emile Durkheim dalam bukunya ‘Sucide’ yang mengatakan bahwa aturan hukum yang bisa membentuk perilaku seseorang hanya di barat. Sedangkan bagi negara non barat, aturan tinggal aturan, hukum tinggal hukum.
“Kalau ditilik dari hal-hal yang kecil, apa yang dikatakan Durkhheim memang benar. Seperti parkir di tempat yang dilarang, merokok di tempat yang tidak dikhususkan. Serta masih banyak ditemui pengendara yang tidak mematuhi pedoman berlalulintas. Padahal adanya hukum itu sebetulnya dalam rangka menciptakan ketenangan hidup masyarakat. Itu salah satu ciri-cirinya. Artinya, sama seperti yang dikatakan Durkheim bahwa pelaksanaan hukum itu bagian dari peradaban barat modern dan salah satu ciri peradaban barat adalah tegaknya hukum. Bagaimana masyarakat Barat mendidik anak-anak mereka agar taat aturan dan hukum,” ungkapnya.
Dia menegaskan, ketaatan pada hukum dan aturan harus ditanamkan kepada masyarakat sejak dini. Seperti mengajarkan tata tertib sewaktu duduk di bangku TK dan menanamkan pemahaman bahwa dengan mengikuti peraturan akan menuntun mereka kepada keselamatan. Dan ini harus kontinyu, sehingga kalau ada pelanggaran maka sanksi bisa ditegakkan. MTN