Dewan Pakar ICMI: Indonesia Gagal Menyediakan Serat-Serat Budaya Bangsa Merdeka
Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Prof Daniel Mohammad Rosyid, mengatakan, secara hakiki Indonesia gagal menyediakan serat-serat budaya bagi bangsa merdeka, yaitu jiwa yang merdeka. Kegagalan itu terlihat dari Indonesia yang pada awal-awal kemerdekaan tidak sempat membangun sistem pendidikan dan masih menggunakan warisan Belanda. Sistem pendidikan itu tidak menanamkan pembentukan jiwa yang merdeka.
Menurut Dosen Pascasarjana Universitas Hang Tuah Surabaya tersebut, Indonesia belum bisa berdaulat seperti yang diinginkan oleh Soekarno. Bapak Proklamator Indonesia itu memiliki gagasan yang dinamakan Trisakti. Gagasan tersebut berupa kedaulatan di bidang politik, berdikari dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam kebudayaan. Soekarno sempat membawa Indonesia keluar dari PBB sebab organisasi itu hanya alat untuk melakukan penjajahan model baru. Perjanjian yang penuh kepentingan di baliknya itulah yang membuat Indonesia tidak bisa melaksanakan gagasan Trisakti.
“Soekarno sempat berhasil keluar PBB dengan upaya yang dilakukan agar tidak memihak salah satu kubu di perang dingin melalui gerakan Non-Blok. Tapi dia kan kemudian terjebak ke Timur. Dan, pada waktu Pak Soeharto naik, walaupun kita tidak mengekor benar ke Barat, tapi kita mengikuti resep-resep Barat yang dimasukkan oleh ekonom-ekonom Indonesia alumni Amerika yang bisa disebut Mafia Berkeley. Kita mengikuti paradigma IMF yang kemudian di instrumen yang penting adalah penanaman modal asing. Itu secara perlahan-lahan membuat perusahan-perusahaan asing mulai menguasai Indonesia,” jelasnya.
Mantan Tim Asistensi Menristek 2004-2006 itu juga menjelaskan bahwa secara politik Indonesia tidak berdaulat melalui ulah partai-partai politiknya. Mereka telah memonopoli pasar politik sehingga masyarakat tidak bisa membayangkan berpolitik tanpa partai. Bahkan untuk mengajukan calon presiden harus melalui partai. Lembaga ini sebenarnya tidak pernah disebut di UUD yang asli. Tapi ia tiba-tiba muncul di amandemen. Diselundupkan oleh kepentingan-kepentingan nekolim untuk menguasai berbagai macam sektor.
“Akademisi dan perguruan tinggi turut bertanggung jawab atas kondisi tersebut. Perguruan tinggi sejak kemerdekaan masih memiliki mental terjajah. Mereka gagal menerjemahkan Pancasila sebagai filosofi kehidupan berbangsa itu menjadi sebuah bentuk pengetahuan. Perguruan tinggi malah asik untuk mengimpor pengetahuan-pengetahuan asing,” kritiknya.
“Misalnya pada tidak adanya tempat bagi kaum minoritas. Kemudian kaum-kaum minoritas tidak dapat tempat di MPR sekarang. Menurut UUD itu, kaum minoritas dapat tempat, entah itu masyarakat adat dan sebagainya. Kelompok-kelompok minoritas harus ada wakil. Yang penting dalam rancangan UUD yang asli itu adalah keterwakilan, bukan keterpilihan,” tuturnya. ILMI