#Artikel

Ini Penyebab Adanya Rezimentasi Agama di Indonesia

Sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya Dr Sholihul Huda menyampaikan, program sertifikasi ulama merupakan bentuk dari rezimentasi agama. Hal tersebut terjadi karena pemerintah terjebak pada cara berpikir homogenitas. Masyarakat harus menjadi seragam. Jika ada yang berbeda dianggap musuh, berbahaya, dan mengganggu kenyamanan. Mereka tidak bisa menerima pluralitas pemahaman atau kepentingan-kepentingan politik keagamaan. Seolah-olah yang benar itu pemahaman keagamaan pemerintah.

“Pola pikir homogenitas Itu seperti cara berpikir Orde Baru (Orba). Jadi rezim saat Ini mirip-mirip era Orba. Ini sangat berbahaya, karena berdampak pada susahnya menerima perbedaan. Kalau di luar rezim dianggap berbahaya,” kata dia.  

Munculnya program sertifikasi ulama, menjadi salah satu contoh adanya regimentasi agama. Pemerintah ingin menyatukan seluruh pemahaman para mubaligh dalam satu frame yang dikehendakinya. Program ini berdampak pada terganggunya aspek demokrasi keagamaan, bahkan mengarah pada otoritarianisme pemerintah.

“Negara ini terlalu masuk pada wilayah teknis keagamaan. Saya kira tidak baik. Biarkan Ormas-Ormas saja yang melakukan sertifikasi. Kalau Ormas itu sudah diakui sah undang-undang maka harusnya pemerintah mengembalikan ke Ormas itu. Mubaligh-mubaligh itu harus terafiliasi dengan Ormas. Kalau ada apa-apa dengan si mubaligh, Ormasnya yang ditegur. Karena setiap Ormas punya paham yang berbeda-beda. Kalau dipaksakan sama dengan pemerintah, maka standar sertifikasi itu pakai standar apa? Maliki, Hambali, Hanafi? Kan nggak bisa,” ujar Sekretaris Fokal IMM Jatim ini.

“Misalnya, bagaimana sertifikasi mubaligh Muhammadiyah? Harusnya itu nggak usah. Biarkan Muhammadiyah melakukan sertifikasi ulamanya dengan standarnya. Kalau pemerintah mau sertifikasi itu organisasinya bukan mubalighnya. Ormas Itu sesuai tidak dengan UU Ormas keagamaan? Kalau sertifikasi dalam satu frame menurut Kemenag, ya susah. Pasti kembali lagi ke hegemoni mayoritas keagamaan,” sambungnya.

Menurut dia, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia harus ikut berperan dalam menghilangkan praktik-praktik regimentasi agama. Yakni dengan memberikan pencerahan pada cara berpikir masyarakat dalam kehidupan beragama. Sehingga masyarakat bisa bersikap lebih toleran dan moderat di tengah keberagaman pemahaman.

“Penyikapan kita adalah dengan memberi edukasi kepada masyarakat. Kenapa sih pemerintah begini? Dan masyarakat harusnya bagaimana? Banyak sekali kebijakan pemerintah terhadap aspek keagamaan masyarakat. Seolah-olah dia ini pengusung moderasi dan toleransi tapi terjebak pada nilai-nilai yang tidak moderat dan toleran. Terjebak pada kepentingan politik. Sembunyi di balik moderasi dan toleransi, padahal sebenarnya praktik yang dilakukan jauh dari itu,” kritiknya. ILMI

Idul Fitri Tiba

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *