#Khutbah Ied

Refleksi Kemandirian dan Peneguhan Ideologi Muslim

Oleh: M.Rifqi Rosyidi

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ الله ُفَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ﴾

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai teladan (imam) bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 124)

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kegiatan ibadah kita pada hari ini tidak bisa dilepaskan dari proses panjang perjalanan dakwah Nabi Ibrahim. Karena secara prinsip ibadah di bulan Dzulhijjah ini dapat dikatakan sebagai potret ketaatan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam menunaikan semua kalimât Allah subhanahu wa ta`alan yang dilembagakan menjadi syariat Islam.

Kalimât yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah kewajiban agama berupa perintah dan larangan sebagai bentuk ujian terhadap tanggung jawab, totalitas dan kesungguhan Ibrahim dalam mengemban misi dakwah tauhid. Dan Nabi Ibrahim mampu manunaikan amanah ilahiyyah yang sangat berat ini dengan sempurna. Salah satu faktor penting yang menjadikan Nabi Ibrahim berhasil melampaui ujian dengan sempurna adalah ketegasan orientasi hidupnya yang tertuju kepada Allah Dzat yang Maha Hidup. Prinsip dasar hidup Nabi Ibrahim ini diabadikan di dalam al-Quran dalam bentuk pernyataan: “innî dzâhibun ilâ rabbi sayahdînî”; (“sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 99).

Kita umat Islam secara tidak langsung melalui salah satu bacaan doa iftitah di dalam salat juga dituntut untuk merumuskan kembali orientasi hidup kita agar senantiasa tertuju kepada Allah semata dengan menjadikan semua proses hidup ini sebagai perwujudan ibadah kepada Allah:

﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾

Artinya: Katakanlah: sesungguhnya salatku, sembelihanku (ibadahku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Q.S. al-An`am [6]: 162)

            Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, umat Islam perlu merumuskan kembali orientasi hidupnya agar berkembang menjadi kekuatan penentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun sementara ini umat Islam adalah mayoritas tetapi belum menjadi kekuatan penentu yang diperhitungkan karena arah hidupnya mudah digoyang oleh kekuatan kapital yang membeli peran destruktif beberapa figur popular yang berani menggadaikan keimanannya dengan liberalisasi pemaknaan teks agama, bahkan melakukan pelecehan terhadap ketuhanan Allah, mencederai kenabian Muhammad dan meragukan keuniversalan ajaran Islam.

            Perhatikanlah sabda Rasulullah berikut ini!:

«يُوْشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قاَلَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، ولَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ فِي قُلُوْبِكُمْ الوَهْنَ، قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهَيَةُ الْمَوْتِ» أخرجه أبو داود.

Artinya: “Hampir (datang suatu masa) dimana beberapa kelompok manusia (selain umat Islam) berkumpul (bersekongkol) untuk memangsa kamu sekalian (umat Islam) sebagaimana berkumpulnya sekelompok “binatang buas” yang berebut buruanya (mangsanya)”.  Lalu seseorang bertanya kepada Nabi: “Apakah kami pada saat itu sedikit?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi (pada waktu itu) kalian itu buih seperti buih banjir (yang dipermainkan oleh gelombang air dan tidak memiliki kekuatan), dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian al-wahn (yang menyebabkab kelemahan).” Maka seseorang bertanya, “Wahai Rasulullaah, apakah al-wahn itu?”. Beliau bersabda: “al-Wahn adalah penyakit hati yang menjadikan seseorang lebih berorientasi kepada cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud).

Hadis tersebut dengan tegas menyatakan bahwa salah satu penyebab ketidakberdayaan umat Islam adalah kesalahannya dalam menentukan orientasi hidup dengan menjadikan keterlimpahan harta, kesejahteraan materi dan status sosial sebagai tujuan hidupnya.

Dalam hal ini umat Islam layak meneladani prinsip hidup Nabi Ibrahim, meskipun minoritas yang selalu mendapat tekanan dan ancaman tetapi dengan kekuatan ideologinya berani menentukan sikap tegas: “sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”. (Q.S. al-Mumtahanah: 4).

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dapat dikatakan bahwa Ibrahim adalah nabi pertama yang memimpikan terbentuknya sebuah negara yang aman dan sejahtera; keinginan Nabi Ibrahim tersebut kemudian diungkapkan kepada Allah dalam bentuk doa;

﴿رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾

            Artinya: “Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan karuniakanlah kepada penduduknya dari buha-buahan bagi siapa yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Akhir;”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 126)

            Di samping itu ketika mencermati penggalan kisah lainnya, kita akan menemukan pelajaran bahwa mimpi tentang sebuah negara yang sejahtera tidak mungkin akan terwujud kalau tidak dimulai dari terbentuknya keluarga yang berkarakter. Keluarga merupakan unsur terkecil dalam sebuah sistem negara, tetapi unsur terkecil ini harus mendapat perhatian yang ekstra karena memiliki peran yang penting bagi terbentuknya sebuah negara sejahtera.

Dengan mengacu kepada langkah Nabi Ibrahim tersebut, maka hal mendasar yang harus menjadi prioritas utama bagi setiap orang tua adalah merumuskan orientasi hidup keturunannya, yaitu menanamkan aqidah yang benar. Sebagai bentuk penekanan secara khusus Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar keluarganya dikaruniai prinsip hidup yang jelas dan dijauhkan dari aktifitas yang mengandung kesyirikan, karena dalam pandangan Nabi Ibrahim bahwa menyekutukan Allah ad yangalah penyebab lemahnya ghīrah keislaman seseorang:

﴿وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ ﴾

Artinya: “Dan ingatlah tatkala Ibrahim (berdoa): Tuhanku jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (Q.S. Ibrahim [14]: 36).

Hal yang sama bisa dilihat dari potret keluarga Luqman juga mempertegas pentingnya penanaman aqidah yang benar sebagai pondasi utama yang akan mempengaruhi pembentukan kepribadian yang berkarakter, oleh karena itu sebelum mengenalkan tentang hak dan kewajiban yang lain, Luqman menekankan materi ketauhidan sebagai prioritas utama dalam pendidikan keluarga:

﴿وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴾

Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik (menyekutukan) Allah, karena perbuatan syirik itu merupakan kedhaliman yang besar” (Q.S. Luqman [31]: 13).

Itulah mengapa kisah keberadaan ibadah hari ini dan kisah-kisah kenabian yang lain harus menjadi landasan teologis bagi kita dalam menentukan arah pendidikan bagi anggota keluarga kita. Dengan kata lain bahwa memahamkan aqidah yang benar dan menanamkan ideologi yang kokoh harus dilakukan sejak kecil dan sedini mungkin, dengan harapan keturunan kita memiliki pijakan arah kehidupan yang kokoh dan tumbuh menjadi pribadi yang bangga dengan identitas keislamannya dan tidak mudah goyah dalam menghadapi tekanan dan ancaman:

﴿وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴾

Artinya: “Dan janganlah kamu bersikap lemah (merasa hina) dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya (unggul), jika kamu orang-orang yang beriman” (Q.S. Ali Imram [3]: 139).

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

            Ibda` bi nafsika wa min nafsika!; Mulailah dengan dirimu dan dari dirimu!. Inilah kata kunci dari beberapa kisah teladan yang membawa semangat transformatif dalam rangka menggagas gerakan bersama membentuk sebuah komunitas besar dengan ikatan ideologi tauhid yang kuat dan identitas keislaman yang tegas. Dan itu harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga terdekat, dengan tekad bahwa suatu saat umat Islam harus menjadi kekuatan penentu dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dengan mengusung misi ajaran yang rahmatan lil ālamīn.

Syiar tauhid dalam pelaksanakan Idul Adha tahun ini harus menjadi refleksi bagi kemandirian umat Islam menghadapi tahun politik ini dengan menjadi pribadi yang tidak mudah menggadaikan ideologinya demi  kepentingan sesaat.

Untuk itu khutbah ini kita tutup dengan statemen Umar bin Khathab yang secara moral memberi kekuatan untuk bersikap di tahun politik yang penuh dengan fitnah ini: “Kita ini adalah umat yang telah diposisikan dengan terhormat oleh Allah melalui ajaran islam, dan apabila kita melecehkan ajaran islam (dan mengaburkan identitas keislaman kita), maka Allah akan menghinakan kehidupan kita sekaligus melempar kita ke dasar jurang kehinaan”.

-oOo-

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالمِيْن حَمْدًا يُوافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِي مَزِيْدَه، يَا ربَّنَا لَكَ الْحَمْد كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْم وَعَظِيْمِ سُلْطَانِك

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

اَللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَ ارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ ، وَ أَرِناَ الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَ ارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

اَللَّهُمَّ ثَبِّتْنَا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ فِي الْآخِرَةِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّي اللَّهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *