Kesadaran Elit Versus Rakyat Akar Rumput
Oleh: Wahyudi Winarjo (Guru Besar Sosiologi UMM; Ketua MPKS PCM Dau Malang)
Udara tahun politik 2024 sejatinya telah terasa panas di sepanjang tahun 2022-2023, khususnya setelah terjadi perpisahan haluan politik antara Presiden Jokowi dan Megawati; Pro Kontra keputusan MK dan MKMK; pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo yang dianggap sebagai bentuk politik dinasti, perceraian politik Jokowers dengan PDIP; pernyataan terbuka Jokowi, bahwa presiden boleh berkampanye dan mendukung salah satu Paslon; gerakan puluhan kampus pro-demokrasi melalui petisi yang menyerukan agar Presiden Jokowi kembali ke jalan yang benar dengan menghormati etika, moral, hukum, dan prinsip demokrasi; serta keputusan KPPU yang memberikan sanksi berupa peringatan keras terakhir kepada ketua KPU, dan para anggotanya.
Memperhatikan suhu perpolitikan nasional di atas, ada beberapa tokoh bangsa yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan terjadinya chaos pasca pelaksanaan Pilpres dan Pileg pada Rabu, 14 Februari 2024. Sehubungan dengan prediksi tersebut, penulis memiliki perbedaan pendapat dengan beberapa alasan. Pertama, para tokoh pro-demokrasi gagal memobilisasi massa untuk mengikuti seruannya. Secara sosiologis, hal ini terjadi karena para tokoh tersebut tidak memiliki power dan legitimasi yang kuat di masyarakat.
Kedua, penyimpangan perilaku politik yang dilakukan oleh para elit pro status quo tidak secara langsung mengganggu pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat. Bahkan, pada rentang tahun politik ini, rakyat banyak menerima paket bantuan sosial (bansos) yang frekuensi dan nilainya ditengarai lebih tinggi dibandingkan bansos di masa pandemi Covid-19. Ketiga, tidak adanya koherensi atau ketersambungan antara kesadaran elit pro demokrasi dengan kesadaran rakyat akar rumput. Para elit pro demokrasi menggunakan pijakan filosofis, etika, moral, dan hukum, sedangkan rakyat akar rumput atas dasar pertimbangan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang menurutnya tidak ada problema sama sekali.
Problema Kesadaran Kelas
Berdasaarkan perspektif sosiologi makro, masalah keterputusan kesadaran elit pro demokrasi dan kesadaran rakyat akar rumput sebagaimana dimaksud di atas, dapat ditelaah dengan pemikiran Karl Marx mengenai kesadaran kelas (class consciousness) dan kesadaran palsu (false consciousness). Bahwa tidak adanya koherensi kesadaran elit dan rakyat tersebut dapat disebabkan oleh hilangnya kesadaran kelas sekaligus juga perbedaan kepentingan kelompok masyarakat dimaksud. Kesadaran kelas tidak bisa terbentuk karena para anggotanya tidak memiliki pengalaman bersama, serta rendahnya solidaritas sosial di antara mereka. Fenomena ini merupakan salah satu ciri pokok masyarakat modern yang individualistik, suatu sistem dan struktur sosial kemasyarakatan yang menempatkan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai urusan individu, bukan urusan bersama atau kolektif.
Tumbangnya kesadaran kelas ini selanjutnya menyebabkan lahirnya kesadaran palsu di kalangan anggota masyarakat, suatu kesadaran yang terdistorsi oleh penetrasi ideologi Sang Kuasa yang hegemonik, materialistik, kapitalistik, dan eksploitatif. Pada perkembangan masyarakat semacam ini, maka persoalan fundamental bangsa dan negara seperti ketidakadilan, pelanggaran etika, moral, hukum, politik dinasti, politisasi bansos, serta nilai-nilai demokrasi lainnya tidak dianggap sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama-sama pula. Gejala sosial semacam ini sedang malanda masyarakat kita. Ada sesuatu yang putus, yakni pertalian kesadaran elit pro demokrasi dan rakyat akar rumput. Seolah ini masalah biasa, namun sesungguhnya sangat berbahaya bagi kontinuitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ideologi Kerakyatan
Memperhatikan paparan di atas, maka dapat dibangun asumsi bahwa penyebab utama kehancuran kesadaran kelas sebagaimana dimaksud adalah disebabkan adanya hegemoni ideologi kapitalis-liberalis. Oleh sebab itu, cara penyelesainnya tentu juga harus melalui upaya penanaman ideologi yang dapat menjadi fondasi bangunan politik kerakyatan sesuai dengan sejarah atau pengalaman mental bangsa dan negara Indonesia. Ideologi dimaksud tentu saja bukan ideologi sosialis-marxis sebagaimana pernah dipraktekkan di negara-negara sosialis-komunis yang ternyata tidak mampu mewujudkan visi misinya dalam membangun masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur. Ideologi yang kita perlukan adalah ideologi yang mampu membangkitkan solidaritas, integritas, paguyuban, kekeluargaan, toleransi, sekaligus spirit religiositas setiap anggota masyarakat Indonesia. Bukan ideologi yang kontra produktif terhadap nilai-nilai luhur kita sebagai manusia yang beragama, berbudaya, dan berkeadaban.
Jika boleh mengusulkan gagasan, ideologi yang dibutuhkan adalah ideologi kerakyatan, suatu ideologi yang menempatkan kedaulatan, harkat-martabat, dan kepentingan rakyat sebagai panglima pembangunan nasional. Apapun boleh dilakukan sepanjang untuk memenuhi kepentingan rakyat. Sebaliknya, apapun tidak boleh dilakukan sepanjang kontra produktif terhadap kepentingan rakyat. Ideologi kerakyatan akan tumbuh baik jika kita mampu mengembangkan sistem demokrasi kerakyatan. Pertumbuhan dan perkembangan ideologi memerlukan ekosistem yang kondusif baginya.