#Konsultasi Agama

Pakai Masker Saat Ihram

Dr. H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid-PWM Jatim, Dosen Pascasarjana UINSA Surabaya

Permasalahan:
Saat kami menunaikan ibadah haji dan umrah, salah seorang petugas haji menjelaskan bahwa pada saat sedang ihram haji atau umrah tidak diperbolehkan memakai masker. Sementara di lapangan banyak orang yang saat berihram haji atau umrah masih memakai masker, baik dari kaum laki-laki maupun perempuan. Melalui rubrik konsultasi agama ini, kami memohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai hukum pakai masker saat ihram lengkap dengan dalil-dalinya. Atas perkenannnya, kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Yuni, Sukodono Sidoarjo).

Pembahasan:
Ihram (Arab: إحرام Ihrām) adalah keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Orang yang sedang melakukan ihram disebut dengan istilah “muhrim”. Pada saat seseorang sudah dalam suasana ihram, maka berlaku aturan mengenai larangan-larangan yang harus dijaga atau dihindari selama dalam keadaan ihram. Ihram merupakan rukun haji dan umrah yang pertama. Setiap calon jamaah haji atau umrah harus melaksanakan ihram saat memasuki miqat (tempat memulainya untuk ihram haji atau umrah).
Di antara larangan-larangan yang harus dihindari saat ihram haji atau umrah bagi kaum laki-laki adalah tidak boleh memakai baju, imamah (penutup kepala), celana, burnus (baju yang ada penutup kepala), dan sepatu. Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantek). Dalam beberapa hadis disebutkan sbb:
Dari Ibnu Umar ra. bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi saw.: ‘Ya Rasulullah, pakaian apa yang harus dikenakan orang yang ihram?’ jawab Nabi saw.:
لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ
Tidak boleh memakai baju, atau imamah (penutup kepala), atau celana, atau burnus (baju yang ada penutup kepala), atau sepatu. Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantex) (HR. al-Bukhari 1468 dan Muslim 2848).
Riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari dari Ibn Umar, ada tambahan bagi kaum wanita:
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos tangan (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).
Kemudian, hadis dari Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang yang terjatuh dari untanya hingga meninggal ketika ihram. Kemudian Nabi saw. berpesan:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِى ثَوْبَيْهِ وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا
Mandikan dengan air dan daun bidara, kafani dengan dua kainnya (kain ihram), jangan kalian tutupi kepalanya, tidak pula wajahnya. Karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sambil bertalbiyah (HR. Muslim 2953).
Berdasarkan beberapa hadis tersebut, ulama berbeda pendapat tentang hukum boleh atau tidaknya orang yang sedang ihram memakai penutup wajah termasuk pakai masker. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Masker bagi laki-laki yang sedang ihram
Pendapat pertama, orang yang ihram tidak boleh menutupi wajah dan kepala. Jika seseorang terpaksa harus menutupi wajah atau kepala, karena sakit atau gangguan lainnya, maka dia wajib membayar fidyah berupa puasa, sedekah makanan, atau meyembelih hewan, sebagaimana yang Allah sebutkan di surat al-Baqarah, 196. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanafiyah.
Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. melarang para wanita memakai cadar ketika ihram (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya). Jika wanita yang lebih membutuhkan penutup wajah tidak diperbolehkah menutup wajahnya, tentu laki-laki lebih terlarang untuk menutup wajah. Alasan kedua adalah hadis Ibnu Abbas, di mana Nabi saw. melarang menutup kepala dan wajah jenazah yang meninggal saat sedang ihram (HR. Muslim 2953).
Syaikh al-Dardir (al-Maliki) dalam al-Syarh al-Kabir, mengatakan:
وَحَرُمَ عَلَى الرَّجُلِ سَتْرُ وَجْهٍ كُلًّا، أَوْ بَعْضًا أَوْ رَأْسٍ كَذَلِكَ بِمَا يُعَدُّ سَاتِرًا كَطِينٍ فَأَوْلَى غَيْرُهُ كَقَلَنْسُوَةٍ فَالْوَجْهُ وَالرَّأْسُ يُخَالِفَانِ سَائِرَ الْبَدَنِ إذْ يَحْرُمُ سَتْرُهُمَا بِكُلِّ مَا يُعَدُّ سَاتِرًا مُطْلَقًا
Haram bagi lelaki (yang ihram) untuk menutup wajahnya semuanya atau sebagian, demikian pula kepalanya, dengan sesuatu yang dianggap penutup, terlebih yang lainnya, seperti peci. Wajah dan kepala berbeda dengan anggota badan yang lain, di mana dua bagian ini haram untuk ditutupi dengan semua benda yang bisa dianggap penutup (al-Dardir, al-Syarh al-Kabir, II/55).
Kemudian Burhanuddin (al-Hanafi) dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah, menerangkan:
وَلَا يُغَطِّي وَجْهَهُ وَلَا رَأْسَهُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا قَالَهُ فِي مُحْرِمٍ تُوُفِّيَ ، وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُغَطِّي وَجْهَهَا مَعَ أَنَّ فِي الْكَشْفِ فِتْنَةٌ فَالرَّجُلُ بِالطَّرِيقِ الْأَوْلَى .
Tidak boleh menutupi wajah dan kepalanya, berdasarkan sabda Nabi saw.: “Jangan menutupi wajahnya dan kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan bertalbiyah”. Beliau sabdakan ini terkait orang yang meninggal saat sedang ihram. Alasan lainnya, karena wanita tidak boleh menutupi wajahnya, padahal membuka wajah wanita bisa menjadi sumber fitnah. Sehingga laki-laki, lebih layak untuk dilarang (Burhanuddin, al-Hidayah Syarh al-Bidayah, I/138-139).
Mengingat penutup wajah termasuk larangan ihram, maka orang yang mengenakan menutup wajah karena kebutuhan mendesak, dia berkewajiban membayar fidyah.
Pendapat kedua, lelaki yang ihram boleh menutup wajah dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, di antaranya ulama madzhab Syafii dan madzhab Hambali. Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. di atas, di mana Nabi saw. menyebut dengan rinci pakaian yang dilarang dalam ihram. Namun dalam daftar larangan yang beliau sebutkan, tidak ada penutup wajah. Sementara tradisi menutup wajah biasa dilakukan masyarakat kawasan padang pasir.
Sementara larangan menutup wajah bagi jenazah yang ihram, itu karena menutup wajah jenazah, mengharuskannya menutup kepalanya. Selain itu terdapat bebebrapa riwayat dari sahabat bahwa mereka memakai tutup muka ketika ihram.
Imam Al-Nawawi (al-Syafii) mengatakan:
مَذْهَبُنَا اَنَّهُ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ الْمُحْرِمِ سَتْرَ وَجْهَهُ وَلاَ فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ … وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِرِوَايَةِ الشَّافِعِي عَنْ سُفْيَان بْنِ عُيَيْنَة عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ اَبِيْهِ (أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّان وَزَيْدَ ابْنَ ثَابِت وَمَرْوَان بْنَ الْحَكَم كَانُوْا يُخْمِرُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَهُمْ حُرُمٌ) وهذا اسناد صحيح
Madzhab kami (syafiiyah), bahwasanya dibolehkan bagi laki-laki ihram menutup wajahnya dan tidak ada kewajiban fidyah. Ini pendapat mayoritas ulama… ulama madzhab kami berdalil dengan riwayat dari Sufyan bin Uyainah dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya, bahwa Usman bin Affan, Zaid bin Sabit, dan Marwan bin Hakam, mereka menutup wajahnya ketika mereka sedang ihram. Riwayat ini sanadnya shahih (al-Nawawi, al-Majmu’, VII/268).
Al-Buhuti (al-Hambali) mengatakan:
لَوْ غَطَّى الْمُحْرِمُ الذَّكَرُ وَجْهَهُ فَيَجُوزُ رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَغَيْرِهِمْ؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ سُنَّةُ التَّقْصِيرِ مِنْ الرَّجُلِ فَلَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ حُرْمَةُ التَّخْمِيرِ كَبَاقِي بَدَنِهِ .
Apabila laki-laki yang sedang ihram menutup wajahnya, hukumnya boleh. Hal ini telah diriwayatkan dari Usman, Zaid bi Sabit, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair, serta ulama lainnya. Karena wajah tidak ada kaitannya dengan sunah memangkas rambut pada lelaki, sehingga tidak ada kaitannya dengan larangan untuk ditutupi, sebagaimana umumnya anggota badan (al-Buhuti, Kassyaf al-Qana’, II/425).
Abdullah al-Faqih, dalam al-Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, menjelaskan hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar di atas sebagai berikut:
ظَاهِرُ قَوْلِهِ وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ اِخْتِصَاصُهَا بِذَلِكَ وَأَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ كَذَلِكَ، وَهُوَ مُقْتَضَي مَا ذَكَرَهُ أَوَّلُ الْحَدِيْثِ فِيْ مَا يَتْرَكُهُ الْمُحْرِمُ فَإِنَّهُ لَمْ يُذْكَرْ مِنْهُ سَاتِرَ الْوَجْهِ
Makna teks dari sabda beliau ‘Janganlah wanita memakai cadar’ itu khusus bagi wanita, sementara laki-laki tidak seperti itu. Dan ini sesuai degan makna bagian awal hadis tentang hal-hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang ihram. Di sana Nabi saw. tidak menyebutkan penutup wajah (Abdullah al-Faqih, al-Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, V/7283).
Dari dua pendapat tersebut di atas, pendapat kedua dipandang lebih kuat, yakni bagi laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan menutup wajah dan tidak masalah memakai masker. Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama. Hal ini lebih sesuai dengan prinsip untuk kemudahan dan kemaslahatan (li al-taysir wa al-maslahah).

Masker Bagi Wanita Ihram
Keterangan di atas menjelaskan bahwa jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bagi laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan menutup wajah dan tidak masalah memakai masker. Adapun bagi wanita yang sedang ihram, ulama sepakat melarang menutup wajahnya berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda:
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos tangan (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).
Ibnu Qudamah mengatakan:
وَإِنَّمَا مُنِعَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الْبُرْقُعِ وَالنِّقَابِ وَنَحْوِهِمَا، مِمَّا يُعَدَّ لِسَتْرِ الْوَجْهِ
Bahwasanya wanita dilarang memakai cadar, burkah atau semacamnya, karena hal itu dianggap penutup wajah (Ibn Qudamah, al-Mughni, III/311).
Bagaimana dengan masker, apakah ia termasuk penutup wajah? Di sinilah ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang menganggap masker sama dengan penutup wajah, maka masker termasuk yang dilarang. Dalam hal ini MUI termasuk yang melarang wanita ihram memakai masker karena dianggap termasuk penutup wajah, kecuali dalam keadaan darurat seperti dalam usaha menghindari penularan wabah, maka hukumnya boleh dan tidak terkena fidyah (Fatwa MUI: 003/MUNAS X/ MUI/XI/2020).
Adapun ulama yang menganggap bahwa masker itu bukan penutup wajah, maka memakai masker bagi wanita ihram tidak dilarang. Dalam hal ini Lembaga Fatwa Mesir menyatakan:
“Tidak dipandang melanggar syariat wanita memakai masker kesehatan untuk menghindari wabah saat sedang ihram umrah atau haji, dan tidak perlu membayar fidyah. Lebih lanjut disebutkan:
لِاَنَّ الْكَمَامَةَ الطِّبِّيَّةَ لَيْسَتْ مِنَ النِّقَابِ أَوْ غِطاَءِ الْوَجْهِ الْمَنْهَى عَنْهُمَا فِى الْاِحْرَامِ اِذْ اَنَّهَا لَمْ تُعَدَّ فِى الْاَصْلِ لِسَتْرِ الْوَجْهِ
Karena sesungguhnya masker kesehatan itu tidak termasuk niqab (cadar) atau penutup wajah yang dilarang saat sedang ihram. Karena itu masker pada dasarnya tidak dianggap sebagai penutup wajah (Dar al-Ifta al-Mishriyah, 15 Pebruari 2023).
Dengan demikian, wanita yang sedang ihram dibolehkan memakai masker, apalagi demi menghindari wabah atau gangguan debu-debu yang berterbangan. Wallahu A’lam!

Meraih Salat Khusyuk

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *