Bila Idul Adha Beda dengan Mekkah
–
Oleh: Dr. H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid-PWM Jatim Dosen Pascasarjana UINSA Surabaya
Permasalahan:
Sudah berulang kali terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Indonesia dengan Mekkah (Arab Saudi). Peristiwa ini juga terjadi di beberapa negara lain. Akibatnya timbul persoalan, bagaimana dengan umat Islam yang tinggal di luar Arab Saudi seperti di Indonesia, apakah harus mengikuti ketetapan yang berlaku di Mekkah? Bagaimana dengan puasa sunnah Arafah-nya, apakah harus bertepatan dengan para jamaah haji yang sedang wuquf di Arafah? Atas beberapa masalah tersebut mohon perawat Konsultasi Agama berkenan membahasnya sejelas-jelasnya. Terima kasih atas perkenannya dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran. (Totok, Surabaya).
Pembahasan:
Ada dua persoalan yang muncul ketika terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Arab Saudi dan Indonesia. Pertama, haruskah Indonesia mengikuti Arab Saudi dalam berhari raya Idul Adha atau bolehkah berbeda dalam menentukan hari rayanya? Kedua, saat berpuasa sunnah Arafah, haruskah bertepatan dengan para jamaah haji sedang melaksanakan wuquf di Arafah, atau bolehkah waktu puasanya berbeda, asal dilaksanakan pada tanggal 9 Dzul Hijjah sesuai kalender yang berlaku di negeri sendiri?
Persoalan pertama, Penentuan Hari Idul Adha
Kemungkinan terjadinya perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi tidak perlu diributkan. sebaiknya disikapi biasa-biasa saja. Karena antara Indonesia dan Arab Saudi (Mekkah) memang berbeda mathla’ (مَطْلَع), yakni berbeda tempat dan waktu terbitnya matahari. Ulama dalam bahasan fikih terutama dalam masalah shaum (puasa) ada istilah ikhtilaf al-mathali’ (اِخْتِلاَفُ الْمَطَالِع), berbeda tempat atau waktu terbit matahari.
Syariat telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah. Misalnya saja waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah SWT. berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِ ّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Dikatakan: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” (al Baqarah (2):189).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir , I/522).
Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri lain untuk menyusulnya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempat negerinya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Kurang-kurangnya ada dua pendapat mengenai hal ini:
Pendapat pertama , jika hilal telah terlihat di suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri-negeri lain untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk suatu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa (وَإِذَا رَأَى الْهِلَالَ أَهْلُ بَلَدٍ لَزِمَ جَمِيْعُ الْ بِلَادِ الَّصَوْمَ). Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian sababat Al-Syafi’i” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, III/10).
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah saw.
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (HR. Al-Bukhaari No. 1909 dan Muslim No. 2567, dari Abu Hurairah ra.).
Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَ اكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari Idul Fitri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban” (HR. Abu Dawud No. 2326, al-Tirmidzi No. 697, Ibnu Majah No. 1660). Al-Albani: sahih ( Mukhtashar Irwa al-Ghalil , I/174).
Pendapat kedua, setiap negeri boleh melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah. Dalil mereka adalah hadis Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al-Haris untuk berdiskusi dengan Mu’awiyah ra. Dia (Kuraib) berkata:
“Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan maksudnya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah pada akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepada saya, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُك ْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ
“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”. Jawab Ibnu Abbas:
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kami” (HR. Muslim No. 2580, Abu Dawud No. 2334, dan al-Tirmidzi No. 693).
Berdasarkan hadis Kuraib tersebut dapat dipahami bahwa penentuan hilal di suatu tempat (negara) dapat berbeda dengan penentuan hilal di negeri lain. Penentuan hilal di Indonesia bisa saja berbeda dengan penentuan hilal di Arab Saudi. Hilal berlaku di negerinya masing-masing. Inilah yang benar menurut Syekh al-‘Utsaimin (وَالصَّوَابُ أَنّهُ يَخْتَلِفُ باِخْتِلاَفِ الْمَطَالِعِ) (al-Utsaimin, Majmu’ Fa tawa Warasail , XX/47).
Kalau hilal di suatu negara harus dipaksakan untuk diterapkan di negeri-negara lain di dunia ini, bisa dibayangkan betapa sulitnya hal ini bisa diterapkan di masa lalu yang teknologi komunikasinya belum canggih seperti saat ini.
Tentu berita wukuf di Arafah sulit sampai ke negeri lain karena terkendalanya komunikasi. Syariat dulu dan syariat saat ini berlaku sama. Dengan alasan ini dapat dipahami bahwa penentuan hilal lokal (suatu negeri) lebih memudahkan kaum muslimin dalam menentukan momen penting ibadah mereka, baik saat memulai puasa Ramadhan, puasa Arafah, maupun hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Persoalan Kedua, Pelaksanaan Puasa Sunnah Arafah.
Apakah Puasa Arafah harus dilaksanakan bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah? Dalam hadis Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ ا لَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar menjadi penebus (dosa) tahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR. Muslim No. 197).
Ulama berbeda pendapat mengenai makna kalimat (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ), “Puasa hari Arafah…”. Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah. Pemdapat ini berdasarkan hadis sbb:
“Dari Maimunah ra. ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi saw. berpuasa di hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada dia satu wadah (berisi susu) dan dia dalam keadaan berdiri (wukuf), lalu dia minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Hadis ini dapat dipahami bahwa puasa Arafah tidak dilakukan oleh orang yang sedang berwukuf di Arafah, tetapi oleh orang yang tidak berwukuf di Arafah.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah di masing-masing wilayah (negara), meskipun tidak bersamaan dengan para jamaah haji wukuf di Arafah (أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي الصِّيَامِ هُوَ ا لْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَوْ لَمْ يُوَافِقِ الْيَوْم الَّذِي يَجْتَمِعُ النَّاسُ فِيْهِ بِعَرَفَ ةَ) ( Arsip Multaqa Ahl al-Hadis-3 , 7 September 2008).
Muhammadiyah cenderung pada pendapat yang kedua ini (Suara Mjuhammadiyah, 20 Maret 2020). Beberapa argumen yang dibangun antara lain sebagai berikut:
Pertama , Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji.
Dari Hunaidah Ibnu Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw., ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَ وَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Adalah Rasulullah saw. melakukan puasa pada sembilan hari bulan Dzulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan (HR. Abu Dawud No. 2439). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Wa Daif, I/2).
Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi saw. terbiasa puasa Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, saat sedang tidak berhaji. Nabi melihat. hanya berhaji sekali sepanjang hidupnya.
Kedua, jika memang yang dimaksud adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong sekitar jam 6 jam? Saat mereka mulai wukuf, di Sorong sudah pukul 18.00?
Ketiga, jika misalkan terjadi malapetaka atau masalah besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu masa ternyata jamaah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, atau tidak bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada jamaah yang wukuf di padang Arafah?
Itulah beberapa alasan yang menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijah sesuai dengan kalender masing-masing di negerinya. Wallahu A’lam!