Tiga Golongan Orang Mukmin
Oleh: Syamsudin
–
ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِٱلْخَيْرَٰتِ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْكَبِيرُ
Kemudian Kami wariskan Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar, (QS, Fathir [35]: 32).
Keimanan merupakan kunci kebaikan dan kesuksesan seseorang di dunia dan akhirat. Allah swt, sering sekali menyebutkan frasa iman ini dalam Al-Qur’an. Baik dalam konteks perintah, larangan, anjuran, ataupun pujian. Jika penyebutan frasa iman dalam konteks perintah, larangan atau penetapan hukum di dunia, maka biasanya frasa itu diarahkan kepada seluruh orang mukmin, baik yang imannya sempurna ataupun kurang sempurna.
Adapun jika penyebutan frasa iman itu dalam konteks pujian kepada orang mukmin dan penjelasan balasannya, maka umumnya frasa itu diarahkan kepada orang mukmin yang imannya sempurna. Dalam Al-Qur’an, orang mukmin dinarasikan sebagai orang yang mengakui dan mempercayai pokok-pokok akidah, melaksanakan perintah Allah dan melakukan segala sesuatu yang ridhai-Nya. Menjauhi semua larangan Allah dan meninggalkan semua perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Dalam QS, Fathir [35]: 32, Allah swt, mengabarkan bahwasanya Al Qur’an, kitab suci yang telah diturunkan kepada Nabi-Nya yang bernama Muhammad, saw, adalah warisan untuk umatnya. Yakni orang-orang yang berilmu dari umat Muhammad. Mereka adalah para ulama sejak dari generasi sahabat, tabi’in, atba’ at-tabi’in, dan seterusnya. Allah memuliakan mereka di atas umat yang lain, dan menjadikan mereka umat teladan dari dipaktikkannya nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi umat manusia sepanjang sejarah.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa golongan manusia yang berpegangan pada AlQur’an ini terbagi menjadi tiga macam. Yaitu golongan yang mendzalimi dirinya sendiri (dzalim linafsih), golongan pertengahan (muqtashid), dan juga golongan yang berpacu dalam berbuat kebaikan (sabiq bilkhairaat). Dalam Tafsir al-Baidhawi diketengahkan beberapa paparan tentang tiga golongan tersebut. Golongan pertama adalah yang meremehkan amal kebaikan. Golongan kedua adalah yang melaksanakan amal kebaikan sesuai dengan standar yang telah ada. Golongan ketiga adalah golongan yang menghimpun ilmu dan dakwah di dalam amal kebaikannya.
Pendapat lain mengatakan, tiga golongan tersebut meliputi orang awam, pelajar penuntut ilmu, dan ulama yang mengajarkan ilmu. Ada juga yang mengatakan, tiga golongan tersebut meliputi pelaku kemaksiatan yang minim amal shalih, pelaku amal shalih dan kemaksiatan secara berimbang, dan orang-orang yang kebaikannya menonjol, karena dosa-dosanya telah terhapus oleh giat amal shalihnya. Untuk pendapat yang terakhir ini al-Baidhawi menukil hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Tabari dari Abi Darda’ Ra.
فأمَّا الذين سَبَقوا بالخَيراتِ، فأولئك الذين يَدخُلونَ الجنَّةَ بغيرِ حِسابٍ، وأمَّا الذين اقتَصَدوا، فأولئك يُحاسَبونَ حِسابًا يَسيرًا، وأمَّا الذين ظَلَموا أنفُسَهم، فأولئك الذين يُحاسَبونَ في طُولِ المَحشَرِ، ثُمَّ هم الذين تَلافاهم اللهُ برَحمتِه
Golongan orang-orang yang berpacu dalam kebaikan adalah mereka yang masuk surga tanpa perhitungan amal. Sedangkan golongan orang-orang yang pertengahan adalah mereka yang dihitung amalnya dengan perhitungan yang sederhana. Adapun golongan orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri, adalah mereka yang dihitung amalnya sepanjang ada di alam mahsyar. Mereka ini masuk surga berkat kasih sayang Allah swt. Merekalah orang yang kata-katanya diabadikan dalam QS, Fathir ayat 34-36.
Untuk mereka surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka didalamnya adalah sutera. Dan mereka berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu, (Tafsir al-Baidhawi, IV/182).
Asy- Sya’rawi menjelaskan, golongan pertama yaitu dzalimun linafsihi, adalah orang-orang yang meremehkan isi AlQur’an, yaitu kitab suci yang diwariskan kepada mereka. Mereka tidak mengamalkan isinya sebagaimana diperintahkan, bahkan belum mampu melepaskan dirinya dari dosa besar, wal ‘iyadzu billah. Golongan ini disebut sebagai dzalimun linafsihi, sebab ia menghalangi pahala menghampiri dirinya. Asy- Sya’rawi juga mengatakan, setiap ajaran syariat yang menuntut dirimu mengerjakan amal sederhana, dan membalasmu dengan pahala besar, namun dirimu tidak bersedia melaksanakannya, maka dirimu telah mendzalimi diri sendiri. Di antara hikmah didulukannya kelompok dzalimun linafsihi, adalah karena kelompok ini memiliki jumlah terbanyak dari pada dua kelompok yang lainnya.
Senada dengan ulama lainnya, asy-Sya’rawi mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi atau waratsat al-anbiya’. Bukan warisan dinar dan dirham, melainkan warisan ilmu. Siapa saja yang mengakses pada warisan tersebut, maka ia telah mengkases pada sesuatu yang bernilai tinggi. Nabi Muhammad saw, adalah muballigh dan mu’allim. Di samping bertugas mengajarkan ilmu, juga menyampaikan ajaran agama. Setelah beliau wafat, tugas mulia itu terpikulkan di atas pundak para ulama.
Pemahaman ini muncul dari penggal kata auratsna (kami wariskan), yang terdapat dalam QS, Fathir [35]: 32. Allah swt, menuntut orang-orang yang telah menerima warisan ilmu syariat dari nabi Muhammad saw, untuk bertindak sebagaimana pewaris harta. Orang-orang yang menerima warisan harta dituntut untuk mengelola harta warisan dengan baik, sehingga bisa memberi manfaat pada masyarakat luas dalam tempo yang tak terhingga. Demikianlah warisan ilmu syariat, harus didakwahkan sedemikian rupa sehingga bisa menyelematkan umat manusia dunia dan akhirat mereka.
Adapun penggal ayat alladziinaa ishthafainaa min ‘ibadinaa (hamba-hamba Kami yang telah Kami pilih), menunjukkan bahwa kalimat tauhid bernilai tinggi, beriman kepada rasulullah saw, bernilai tinggi, demikian pula mengamalkan ajaran nabi Muhammad saw, juga bernilai tinggi. Sehingga pelaku maksiat dari umat Muhammad yang ahli tauhid pun tetap masuk dalam kalangan alladziinaa ishthafainaa atau hamba-hamba Allah yang terpilih. Di sini jelas berbeda kelas antara orang yang menerima kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, kendatipun pelaku maksiat, dengan orang yang mengingkarinya.
Golongan kedua adalah al-muqtashid. Mereka adalah kelompok hamba Allah yang relatif seimbang antara kebaikan dan keburukannya. Ia gemar melakukan amal shalih, namun juga melakukan yang sebaliknya, yaitu amal salah. Golongan ini keungkinan besar akan menemukan jalan menuju Tuhannya, menjadi hamba Allah yang diterima taubatnya. Sebagaimana berfirman-Nya dalam QS, at-Taubah [9]: 102.
وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Pakar bahasa Arab mengatakan bahwa kata ‘asaa disebut sebagai huruf tarajji, yaitu kata yang dipakai untuk mengungkapkan keinginan yang kemungkinan besar akan terwujud. Lawannya adalah laita, disebut sebagai huruf tamanni, yaitu kata yang dipakai untuk megungkapkan keinginan yang mustahil terwujud. Seperti yang populer dalam syair arab kuno. Mereka menisbahkan syair ini kepada Abu al-Atahiyah.
ألا ليت الشباب يعود يوما ۞ فأخبره بما فعل المشيب
ولى الشباب فما له من عودة ۞ أتى المشيب فأين منه المهرب
Andai masa muda bisa kembali lagi
Pasti aku memberitahunya apa yang dilakukan orang tua.
Tapi masa muda telah berpaling dan tidak kembali
Masa tua datang gerangan kemanakah aku akan berlari.
Golongan ketiga adalah sabiq bilkhairat, yaitu yang berlomba lomba dalam kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan perintah Tuhannya dalam bentuknya yang paling baik. Contoh dari golongaan ini adalah Nabi Ibrahim as. Allah memberikan berbagai macam ujian kepadanya, dan ia menyelesaikannya dengan sempurna, QS, al-Baqarah [2]:124.
Makna sempurna adalah mengerjakan sampai batas akhir kemampuan naturalnya, kemudian disempurnakan dengan rekayasa kecerdasannya. Allah swt, memerintahkan Ibrahim as, untuk meninggikan dinding ka’bah, QS, al-Baqarah [2]: 127. Antara yang diperintahkan dengan yang dikerjakan terdapat perbedaan. Perintahnya adalah meninggikan dinding ka’bah. Sebenarnya cukup bagi Ibrahim membangun dinding ka’bah setinggi kemampuan naturalnya. Yaitu setinggi tubuhnya, atau sedikit lebih tinggi dari itu. Dan itupun dianggap sebagai ketaatan yang sudah memadai. Namun Ibrahim as, melakukan perintah melebihi kemampuan naturalnya. Ia memanfaatkan batu yang cukup besar sebagai pijakan untuk meninggikan Ka’bah. Ia juga minta bantuan putranya yang bernama Ismail untuk proses pembangunannya lebih lanjut. Dengan demikian Ibrahim telah melaksanakan ketaatan dalam bentuknya yng paling baik. Dalam hal ini Ibrahim as, mejadi contoh dari golonga yang telah sabiq bilkhairaat, (Tafsir asy-Sya’rawi, XVII/110).