#Hadis

Salat di Masjidil Haram atau Tanah Haram?

Oleh: Zainuddin MZ, Direktur Turats Nabawi (Pusat Studi Hadits)

Pendahuluan

Terima kasih kepada pengirim Youtube yang berisi ceramah Ustadz Dzul Qurnain Muhammad Sanusi. Dipaparkan bahwa fadhilah salat senilai 100.000 (seratus ribu kali) dibandingkan pelaksanaan salat di tempat lain, ternyata bukan hanya dilakukan di Masjidil Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah, akan tetapi fadhilah tersebut juga digapai siapa saja yang melaksanakan salat di semua masjid di kota Mekah Mukarramah.

Alasan yang diketengahkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang dimulai dengan keberangkatan beliau dengan redaksi “minal masjidil Haram”, ternyata saat itu keberadaan Nabi saw. bukan di Masjidil Haram yang terdapat Ka’bah tersebut, melainkan saat itu Nabi saw. berada di rumah Umu Hani.

Firman-Nya:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Isra’: 1)

Dengan demikian redaksi “dari Masjidil Haram” bukanlah masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah saja, melainkan semua masjid yang berlokasi di tanah haram. Maka hadis yang menjelaskan kemuliaan salat di Masjidil Haram itu tentunya bukan hanya ketika seseorang salat di Masjidil Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah, akan tetapi mencakup seluruh masjid yang dibangun di lokasi tanah haram.

Sayangnya Dzul Qurnain tidak menyebutkan referensinya secara detail sehingga mudah untuk dirujuk. Syukur jika ia tunjukkan juz dan halamannya. Saya coba melacaknya di berbagai tipologi kodifikasi hadis, khususnya tipologi masanid, walaupun di Musnad Ahmad (yang alhamdulillah telah tuntas saya terjemahkan sebanyak dua puluh jilid),, dan belum saya temukan teks hadis bahwa Nabi saw. memulai isra’ dari rumahnya, sedemikian pula dalam tipologi tafsir yang ma’tsur sehingga dapat dikaji derajat hadisnya.

Kita berharap saat seseorang memaparkan hal yang tampaknya kontroversial akan lebih afdhal jika dipaparkan juga rujukannya secara rinci, ia hanya menyebutkan para ulama ada yang memahaminya seperti itu. Lagi-lagi ia tidak menjelaskan siapa di antara para ulama yang berpandangan sedemikian itu.

Bagi kita tentu hal itu kurang penting, namun sekali lagi dasar hukum yang dijadikan argumentasinya harus benar-benar akurat.

Sekilas Sosok Umi Hani

Umu Hani, nama aslinya ada yang mengatakan Fakhitah, atau Fatimah atau Hindun, namun yang dinilai rajih adalah yang pertama. Lepas terjadinya perselisihan dalam penamaan, yang penting dia lebih dikenal dengan kuniyahnya Umu Hani, seperti nama Abu Hurairah yang beragam, namun dia lebih dikenal dengan kuniyahnya, yakni Abu Hurairah. Dengan demikian tidak diragukan sifat kredibilitasnya.

Ia adalah saudara perempuan Ali bin Abi Thalib dan Ja’far al-Thayyar. Ibunya bernama Fatimah binti Asad. Umu Hani lahir di Mekah lima puluh tahun sebelum hijrah, jadi ia lebih muda beberapa tahun dari Rasulullah saw. Ia tumbuh bersama Nabi di rumah ayahnya (yakni Abu Thalib), ketika Abu Thalib mengasuh beliau pasca kematian kakeknya, (yakni Abdul Mutthalib).

Umu Hani dipinang oleh Hubairah bin Wahab al-Makhzumi, salah sorang tokoh Quraisy. Abu Thalib pun menikahkannya dengan Hubairah. Ketika resmi menjadi nabi, suami Umu Hani tidak mau beriman dan tetap bersikeras dalam kemusyrikannya.

Pada saat penaklukan Mekah, suaminya (Hubairah bin Wahab) melarikan diri ke negeri Najran, dan Ia kemudian dipinang oleh Nabi saw., dan Umu Hani wafat pada masa setelah Ali bin Abi Thalib.

Fadhilah Salat di Masjidil Haram

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ

عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا, خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنْ الْمَسَاجِدِ, إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ) (فَإِنِّي آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ مَسْجِدِي آخِرُ الْمَسَاجِدِ) (وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ, أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ)

Dinarasikan Jabir bin Abdullah ra., Rasulullah saw. bersabda: (Pelaksanaan salat di masjidku ini lebih baik dari pada seribu salat dibanding masjid-masjid lainnya, kecuali pelaksanaan salat di Masjidil Haram) (Sesungguhnya aku adalah akhir para Nabi dan sesungguhnya masjidku ini adalah akhir masjid -para Nabi-) (Adapun pelaksanaan salat di Masjidil Haram, adalah lebih utama seratus ribu kali dibandingkan pelaksanaan salat di selainnya).

Hr. Bukhari: 1133; Muslim: 1394; Nasai: 694; Ibnu Majah: 1406; Ahmad: 14735.

Analisis

Ceramah di youtube itu seharusnya membedakan dua hal. Pertama maksud “Masjidil Haram” saat Nabi saw. memulai perjalanan isra’nya. Kedua, fadhilah salat di Masjidil Haram.

Sebagaimana dimaklumi tidak mudah menilai keshahihan hadis tentang sejarah, karena pada generasi awal vokus kajian status hadis pada purifikasi dalam masalah akidah dan syariah.  Itulah sebabnya dalam masalah fadhail ada toleransi menggunakan hadis dhaif dengan persyaratan-persyaratan tertentu, apalagi hadis tentang sejarah.

Sebagai contoh, kehadiran Nabi sewaktu hijrah ke kota Madinah ada yang menyatakan di bulan Muharram, namun ada juga di bulan Rabiul awal. Sedemikian pula ayat pertama yang turun kepada Nabi saw. sesuai dengan peristiwa perang Badar, ada yang menceritakan pada tanggal 17 Ramadhan, namun ada juga yang menetapkan tanggal 13 Ramadhan, dan banyak lagi perselisihan tentang sejarah.

Sedemikian rupa cerita keberadaan Nabi Muhammad saw. ketika terjadi peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Maka informasi bahwa keberangkatan Nabi saw. pada saat itu sedang di rumah Umu Hani. Namun teks Al-Qur’an menyebutkan dari “Al Masjidil Haram”, bukan “Masjid al-Haram” (menggunakan mudhaf dan mudhaf ilaihi). Silahkan cermati lagi teks ayatnya. Jika redaksionalnya menggunakan lafaz yang kedua, maka sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksudkan adalah “semua masjid yang berlokasi di tanah haram”, namun redaksional “Al Masjid Al-Haram” adalah isim alam yang dikhususkan masjid yang terdapat Ka’bah di dalamnya. Seharusnya informasi Al-Qur’an lebih valid dari pada informasi hadis, apalagi wujudnya hadis fi’li (jika berstatus shahih).

Jika penafsiran yang dipegangi Dzul Qurnain dianggap benar, tentunya bukan pelasanaan salat di masjid-masjid haram Mekah saja yang nilainya sama, akan tetapi cakupannya seluruh pelaksanaan salat di masjid-masjid yang berlokasi di haram Madinah juga sama semuanya, karena tanah haram bukan hanya untuk wilayah Mekah, namun juga untuk wilayah Madinah dengan nash yang shahih.

Sehingga kedua wilayah tersebut dinamakan Haramain (Kedua tanah Haram). Jika batasan tanah haram untuk wilayah Madinah sudah jelas dalam ketentuan Rasulullah saw., maka bisakah Dzul Qurnain memberi batasan-batasan tanah haram untuk wilayah Mekah? Tentu harus berdasarkan nash yang shahih, sehingga masyarakat mengetahui masjid-masjid mana saja yang berpahala seratus ribu kali? Apakah juga termasuk masjid Bin Baz?.

Dalam kajian hadis secara tematik, walaupun banyak masjid yang berlokasi di Haramain, namun ternyata memiliki keutamaan yang berbeda-beda. Salat di Masjid Nabawi tidak seratus ribu kali, melainkan seribu kali, salat di masjid Quba senilai umrah bagi peziarahnya, dan sedemikian lainnya seperti pelaksanaqan salat di masjid al-Fath, padahal semua masjid itu seharusnya masuk redaksi “masjid al-Haram” (dengan mudhaf dan mudhaf ilaihi).

Dari paparan di atas pendapat yang rajih (kuat) adalah pelaksanaan salat di Masjidil Haram yang terdapat Ka’bah di dalamnya, apalagi rangkaian hadis dari awal sampai akhir, Rasulullah saw. hendak memperbandingkan fadhilah salat di Masjid Nabawi, Masjidil Haram, dan masjid-masjid selain keludanya. Wallahu a’lam.

Catatan Akhir

Saya juga pernah menyaksikan jamaah haji dari kota Malang yang sang kyainya  mengajak umatnya berjamaah salat Subuh di hotel saja, dengan alasan bahwa salat dimana saja di tanah haram ini pahalnya sama, yakni senilai seratus ribu kali.

Di luar dugaan ketika saya tanya, jika begitu kenapa umat pean panas-panas di siang hari diajak berjamaah salat Dhuhur dan Ashar di Masjidil Haram, padahal jika dikerjakan di hotel ini pahalanya sama saja? Jawabannya cukup menohok, di Masjidil Haram salat Subuh tidak menggunakan qunut, khawatir umatnya hijrah ke “Muhammadiyah”.*

Hukum Hadiah Politik

Penamaan Salat Malam

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *