#Hadis

Penamaan Salat Malam

Oleh: Zainuddin MZ, Direktur Turats Nabawi (Pusat Studi Hadits)

Pendahuluan

Pada malam di bulan Ramadan, masyarakat guyub melaksanakan salat malam berjamaah, baik di masjid maupun di tempat-tempat yang lain.

Di sebuah perumahan, ketika penduduknya belum mempunyai masjid, maka mereka melakukannya di ruang serba guna, sebagaimana yang penulis alami ketika berjamaah bersama masyarakat perumahan Binangun Indah yang berlokasi di kecamatan Buduran, Sidoarjo, bahkan penulis juga mengalami berjamaah di jalan kembar dan di Balai Desa bersama masyarakat perumakan Sekardangan Indah, sehingga dengan semangat kebersamaan akhirnya mereka dapat mendirikan masjid Baitus Salam, alhamdulillah.

Penulis yakin, di beberapa tempat yang belum memiliki masjid yang memadahi, tentu menjalani salat malam di bulan Ramadan di tempat-tempat fasilitas umum yang layak dijadikan salat berjamaah.

Muncul pertanyaan, jika setelah salat Isya’, umat telah melaksanakan salat malam (yang lazim disebut salat Tarawih), lalu apakah di tengah malam akan melaksanakan salat Tahajud?

Jika demikian, lalu berapa rakaatnya, dan apakah ditutup dengan salat witir lagi?, padahal menurut tuntunan, tidak ada dua salat witir dalam satu malam?

Berangkat dari kebingunan seperti inilah, maka penulis merasa perlu untuk menjelaskan macam-macam penamaan salat malam menurut Al-Qur’an dan hadis.

Nama-Nama Salat Malam

Sejauh yang penulis ketahui, dalam kajian Al-Qur’an dan hadis secara tematik, penulis baru menemukan nama-nama salat malam itu ada 4 macam.

Pertama: Tahajud, jika di bulan Ramadan maka disebut “Tahajud fi Ramadan”, atau redaksi fi dihilangkan dengan pola mudhaf dan mudhaf ilaihi, yakni “Tahajud Ramadan”.

Penamaan ini diambil dari ayat sebagai berikut:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Dan pada sebagian malam, salatlah Tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Qs. Al-Isra’: 79).

Penamaan salat Tahajud ini juga muncul dalam periwayatan Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Ahmad: 23458, dan Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Dawud: 772.

Kedua: Salat Lail, jika di bulan Ramadan maka disebut “Salat Lail fi Ramadan”, atau redaksi fi dihilangkan dengan pola mudhaf dan mudhaf ilaini, yakni “Salat Lail Ramadan”.

Penamaan ini diambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى, وَالْوِتْرُ رَكْعَةٌ وَاحِدَةٌ) (مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ) وَفِي رِوَايَةٍ: (وَالْوِتْرُ رَكْعَةٌ قَبْلَ الصُّبْحِ)

Dinarasikan Ibnu Umar ra., Rasulullah saw. bersabda: (Salat Lail (salat malam) itu dua rakaat, dua rakaat, sedangkan salat witir itu satu rakaat) (yakni di akhir malam). Dalam riwayat lain: (dan salat witir itu satu rakaat sebelum Subuh).

Hr. Muslim: 153; Abu Dawud: 1421; Nasai: 1689, 1693; Ibnu Majah: 1175; Ahmad: 4878, 5759.

Penamaan salat malam versi Ibnu Umar ini ditemukan ada 4 redaksi yang berbeda-beda, dan penamaan salat lail juga muncul dalam riwayat sahabat lain, seperti Aisyah, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas.

Ketiga: Qiyam, jika di bulan Ramadan maka disebut “Qiyam fi Ramadan”, atau redaksi fi dihilangkan dengan pola mudhaf dan mudhaf ilaini, yakni “Qiyamu Ramadan”.

Penamaan qiyam muncul dalam riwayat Abu Hurairah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ, فَيَقُولُ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) (قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ، ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ) (وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى الْقِيَامِ)

Abu Hurairah ra. berkata: (Rasulullah saw. senantiasa mengguyupi umat untuk Qiyamu Ramadan, walaupun beliau tidak mengintruksikannya secara ketat. Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang melaksanakan Qiyamu Ramadan yang didasari karena iman dan ikhlas, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu) (Ibnu Syihab berkata: Setelah Rasulullah saw. wafat, maka ihwal Qiyamu Ramadan seperti itu pada masa khalifah Abu Bakar, dan awal dari kekhilafaan Umar bin Khatthab) (walaupun Nabi saw. sendiri belum sampai menghimpun seluruh umat untuk itu).

Hr. Bukhari: 1905; Muslim: 174; Tirmidzi: 808; Nasai: 2192, 2193; Ahmad: 7868.

Keempat,Witir, jika di bulan Ramadan maka disebut “Witir fi Ramadan”, atau redaksi fi dihilangkan dengan pola mudhaf dan mudhaf ilaini, yakni “Witir Ramadan”.

Penamaan witir muncul dalam riwayat Aisyah sebagai berikut:

Hadis Aisyah

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ: (سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ وِتْرِ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ كَانَ يُوتِرُ، مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ؟) (فَقَالَتْ: مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، وَأَوْسَطِهِ، وَآخِرِهِ)

Abdullah bin Qais berkata: (Aku bertanya Aisyah tentang salat Witir Nabi, apakah di awal malam atau di akhir malam?) (Ia menjawab: Pada setiap malamnya kadang Nabi Witir di awal malam, kadang di tengah malam, dan kadang di akhir malam).

Hr. Bukhari: 951; Muslim: 137; Abu Dawud: 1437; Tirmidzi: 456, 2924; Ahmad: 22395, 24497.

Hadis Abu Ayub al-Anshari

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Dinarasikan Abu Ayub al-Anshari ra., Rasulullah saw. bersabda: Salat Witir adalah hak bagi setiap muslim.

Hr. Abu Dawud: 1422; Nasai: 1710; Ibnu Majah: 1190.

Hadis

وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ) (فِي سَفَرٍ وَلَا حَضَرٍ) (حَتَّى أَمُوتَ) (أَوْصَانِي بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى) (فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ) (وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ)

Abu Darda’ ra. berkata: (Aku diwasiati oleh kekasihku (Nabi saw.) tiga hal yang tidak boleh kutinggalkan) (baik aku diperjalanan maupun dalam kondisi mukim) (sehingga aku wafat) (Beliau berwasiat padaku agar berpuasa tiga hari pada setiap bulan, melaksanakan dua rakaat salat Dhuha) (itulah yang dinamakan salat Awabin) (dan Witir sebelum aku tidur).

Hr. Bukhari: 1124, 1880; Muslim: 85, 86; Ibnu Khuzaimah: 1223; Abu Dawud: 1432, 1433; Ahmad: 7138, 7586; Ibnu Abi Syaibah: 7800.

Pemahaman bahwasanya Rasulullah saw. “salat Witir” di awal malam, tentunya bukan dimaknai sekedar penutup salat malam. Karena salat malam itu telah menjadi kewajiban bagi pribadi Rasulullah saw.

Dengan demikian, pemaknaannya adalah paket salat malam dan penutupnya.

Untuk itu para pemerhati hadis agar berhati-hati dalam memahami salat Witir yang tercantum dalam teks hadis, karenanya bisa berarti penutup salat malam, dan juga berarti paket salat malam dan penutupnya.

Itulah nama-nama salat malam sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis, dan penulis belum pernah menemukan salat Tarawih. Semoga dapat penulis paparkan sejarahnya pada bagian berikutnya.

Dengan demikian bagi yang sudah menjalani salat malam setelah salat Isya’, tidak ada lagi salat Tahajud. Penulis belum pernah mendapatkan hadisnya, bahwa Rasulullah salat malam setelah Isya’, kemudian beliau salat malam (Tahajud) lagi setelah bangun di malam hari. Hal ini disebabkan menurut riwayat Aisyah, Zaid bin Khalid dan Ibnu Abbas, salat malam Nabi saw. hanya sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.

Dengan demikian silahkan salat sunah apapun selain salat malam (atau salat Tahajud) dan tidak perlu ditutup dengan salat witir.

Hal ini berbeda bagi orang yang berpendapat salat malam itu boleh lebih sebelas rakaat, maka salat malam setelah Isya’ agar tidak ditutup dengan witir, dan di tengah malam silahkan menambah rakaat sekehendaknya, kemudian ditutup dengan salat witir.

Atau jika setelah Isya’ sudah ditutup dengan witir, maka di tengah malam, silahkan dihilangkan witirnya terlebih dahulu dengan salat satu rakaat, kemudian menambah rakaat salat malam sekehendaknya, kemudian diakhiri dengan salat witir. Karena tidak ada dua witir dalam satu malam. Wallahu a’lam.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *