#Persyarikatan

Hikmah Pemaafan

Dr. dr. Sukadiono, MM (Ketua PWM Jawa Timur dan Rektor UM Surabaya)

Tahun 2019 lalu ada peristiwa yang layak menjadi tauladan bagi kita semua. Sebuah peristiwa penghujatan yang menimpa Buya Syafii Maarif melalui media sosial. Pada saat itu, ada orang menghujat buya Syafii melalui akun facebook, yang intinya menyumpahi buya dengan kata buruk. Alih-alih membalas atau melaporkan orang tersebut, Buya Syafii memberi teladan baik, bagaimana ia tidak tersinggung dengan penghujatnya. Bahkan ia menunjukkan kearifannya dengan memberikan maaf dan menyambut dengan baik penghujatnya.

Buya Syafii adalah tauladan bagi kita semua. Bukan hanya bagi warga Muhammadiyah, tetapi bagi warga bangsa di Indonesia dan dunia. Pemaafan atau memberi maaf memiliki arti menghapuskan dan melupakan semua rasa yang menyakitkan, rasa tidak adil, yang diakibatkan oleh perilaku orang lain. Ada beberapa ulama berpendapat bahwa mendapatkan maaf lebih balik daripada mendapatkan keadilan (Dr. Fikri Ahmad al-‘Akkaz, Falsafat al- ‘Uqubah fi al-Syari’ah wa al-Qanun, 1982). Memaafkan dianggap perilaku mulia yang bisa mendekatkan manusia dengan Tuhan.

Dalam ilmu psikologi, pemaafan itu memiliki tiga level: Pertama, enduring resinment, yaitu sebuah keadaan seseorang yang sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sebuah keadaan seseorang yang tidak terima terhadap kejahatan orang lain, kecurangan, dan ada rasa ingin belas dendam. Kedua, sensitivity to the circumstances keadaan memaafkan orang lain tetapi karena ada tekanan sosial atau norma di dalam masyarakat. Pada level ini, sebenarnya orang tersebut belum benar- benar memaafkan. Sehingga sering ada orang bilang, saya memaafkan tetapi saya selalu ingat.

Ketiga, keadaan secara ikhlas memaafkan orang lain. Pada level ini, seseorang menekan motivasi untuk balas dendam. Sehingga mereka mampu memaafkan secara tulus. Ada penurunan amarah, menghapus luka-luka dihati yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain. Namun, ada level lain yang disebutkan dalam agama Islam, yaitu level muhlisin. Pada level ini orang tidak hanya ikhlas dan memaafkan, tetapi juga mampu berbuat baik terhadap orang yang salah.

Sebuah riset empiris yang dilakukan oleh Felix Neto dari Universitas Portugal pada tahun 2007, menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku pemaafan dengan keramahan. Orang yang ramah cenderung menjadi pemaaf. Sebaliknya, orang yang berada dalam keadaan enduring resinment, yaitu keadaan sulit memaafkan dan menyimpan kebencian adalah mereka yang secara emosi tidak stabil, pemarah, dan sulit untuk menjadi pemaaf.

Perilaku pemaaf juga dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang. Dalam penelitian tersebut, orang yang lebih tua lebih cenderung menjadi pemaaf dari pada orang yang lebih muda. Menariknya lagi, perilaku pemaaf juga ditemukan memiliki keterkaitan positif dengan perilaku bersyukur. Artinya orang yang selalu bersyukur, mereka juga cenderung menjadi pemaaf.

Kaitannya pula dengan agama, peneliti lain seperti Rokeach pada tahun 1973 menemukan bahwa ada korelasi yang positif antara pribadi pemaaf dengan tingkat religiusitas seseorang. Misalkan, semakin taat orang dalam beragama, semakin tinggi level dia untuk menjadi pribadi pemaaf. Oleh karenanya, pada momentum setelah hari raya Idul Fitri ini, sebagai umat Islam yang menjunjung kesalehan, kita perlu melakukan refleksi diri. Selain menjadi pribadi pemaaf, kita perlu memikirkan kembali benarkah kita menjadi pribadi pemaaf, bahkan pada tingkat Muhlisin.

Terlebih pada pasca pemilu raya dan pasca diputuskannya pemenang pemilu oleh MK ini, banyak orang merasa dicurangi dan dibohongi. Selain itu, calon legislatif yang telah mengeluarkan banyak biaya namun masih belum lolos, tentu banyak dari mereka yang merasa dicurangi, bukan hanya merasa dicurangi oleh calon lain, tetapi juga bagi konstituen yang tidak memilihnya. Memaafkan bukan berarti permisif pada tingkah laku culas dan kotor. Memaafkan adalah berdamai dengan diri sendiri dan tetap bersikap kritis atas kondisi yang ada.

Pada momentum ini marilah kita ber- sihkan hati kita dari luka-luka dengan memaafkan setiap kesalahan orang lain dengan sebenar-benarnya maaf. Artinya kita benar-benar memaafkan. Kalau tidak mampu pada level muhlisin, setidaknya kita mendoakan orang yang berbuat salah. Dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka emosi kita akan lebih stabil, dan menghilangkan beban di dalam pikiran kita sendiri.

Amanah Para Pemimpin

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *