Rekonsiliasi Pasca Kontestasi: Merajut Kebhinnekaan Bangsa
Dr. dr Sukadiono.MM (Ketua PWM Jawa Timur dan Rektor UM Surabaya)
Kontestasi pemilu 2024 telah menunjukkan hasil dari perhitungan cepat (quick qount). Dari berbagai lembaga perhitungan cepat yang ditampilkan diberbagai platform media, hasil perolehan suara capres dan cawapres telah kita ketahui bersama.
Kontestasi antar anak terbaik bangsa yang telah berani tampil untuk mencalonkan diri baik capres-cawapres, DPD RI,DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten patut kita apresiasi. Gimik dan strategi dalam memenangkan kontestasi telah menimbulkan gesekan antar anak bangsa yang mendukung salah satu pasangan calon. Sa- ling sindir, kritik, bahkan hingga mengarah ke #bullying sering kali kita lihat di media sosial.
Kontestasi harus kita ibaratkan sebagai perbedaan pendapat antar kakak beradik dalam sebuah keluarga. Dimana konflik kakak beradik mempunyai tujuan untuk kebaikan keluarga, sama halnya dengan kontestasi pemilu 2024 ini. Semua anak bangsa ingin Republik Indonesia semakin baik kedepannya.
Muhammadiyah setidaknya juga pernah mengalami kondisi krisis identitas saat Pemilu 1955. Saat dimana Buya AR Sutan Mansur sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mendapat tarikan politik partisan begitu kuat sehingga Muhammadiyah menerima tawaran Masyumi untuk menjadi salah satu anggota istimewa partai Masyumi. Namun tak berlangsung lama Muhammadiyah kemudian keluar secara kelembagaan. Peristiwa ini bentuk wujud tarikan politik partisan yang kuat. Sehingga Muhammadiyah tertarik untuk bergabung sebagai aktor politik partisan saat itu. Hal ini tidak berlangsung lama dikarenakan diinternal Muhammadiyah pun tidak setuju dengan sikap ini.
Tarikan politik pemilu 2024 juga begitu kuat sehingga Pimpinan Pusat Muhammadiyah baik ketua umum maupun sekretarisnya memberikan beberapa kali himbauan. Salah satunya perihal aktifnya kader-kader Muhammadiyah dalam kontestasi pemilu 2024. Muhammadiyah selalu tegas bahwa para kader bergerak atas nama individu masing-masing. Sampai tanggal 14 Februari 2024 Muhammadiyah secara kelembagaan tetap netral dan tidak tertarik sedikitpun untuk andil dalam politik partisan.
Keteguhan sikap Muhammadiyah saat ini juga dapat diteladani ketika kepemimpinan AR Fakhruddin yang memimpin selama Orde Baru yang memposisikan Muhammadiyah selalu berjarak dengan pemerintah meskipun saat itu juga adanya kewajiban asas tunggal Pancasila tahun 1984 untuk semua organisasi. Yang kemudian Muhammadiyah menerima Pancasila, AR Fakhruddin menganalogikan Muhammadiyah seperti “naik motor di jalur wajib helm” dengan helm diiba- ratkan sebagai Pancasila dan Muham- madiyah sebagai pengendaranya.
Menurut tafsir A.R Fakhruddin, meski memakai ‘helm’, pengendara tetap punya kepalanya sendiri tidak berarti berganti kepala. Hasilnya Muhammadiyah selamat dan bahkan makin besar dibawah AR Fakhruddin. Keengganannya untuk terlibat politik praktis, berbeda dengan NU yang saat Orde Baru jadi salah satu elemen di bawah PPP, strategi AR Fakhruddin dianggap memberi sumbangan besar terhadap makin besarnya Muhammadiyah di bidang amal usaha sosial dan pendidikannya.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur akan selalu menghimbau kepada seluruh Warga Muhammadiyah Jawa Timur. Pasca proses partisan pemilu 2024 agar semua kembali bersilaturahmi, berdakwah, berorganisasi, dan mengembang- kan amal usaha Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah harus menjadi pengendara yang dewasa, artinya selalu taat atas aturan-aturan pemerintah. Rekonsiliasi harus segera dilakukan dari umat dan warga Muhmmadiyah menjadi teladan untuk itu. Ketika rakyat Indonesia mau kembali rekonsiliasi maka elit akan juga mengikutinya. Karena sejatinya negara demokrasi puncak kekuasaan ada dita- ngan rakyat. Kehidupan berbangsa yang saling menghargai dan menghormati akan membawa ketentraman dalam kehidupan suatu negara. Rakyat Indonesia akan marah jika ada yang mengkoyak sem- boyan “Bhinneka Tunggal Ika.”