#Opini

Partisipasi Politik Warga Muhammadiyah dan Pilpres 2024

Oleh: Achmad Jainuri (Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA); Penasehat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

Ada pergeseran gerak politik warga Muhammadiyah dari waktu ke waktu. Sebelum kemerdekaan ekspresi politik disalurkan melalui Budi Utomo (Ahmad Dahlan), Sarekat Islam (Ahmad Dahlan dan Haji Fachroodin). Kedua elit Muhammadiyah ini menjadi Redaktur Islam Bergerak dan Medan Moeslimin, dua organ Sarekat Islam. Setelah kemerdekaan orang-orang Muhammadiyah terlibat langsung pendirian partai politik Masyumi. Di Masyumi secara kelembagaan orang Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai. Pada masa Orde Baru, Muhammadiyah terlibat langsung pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang disahkan pada 20 Februari 1968.

Dua jabatan pimpinan diberikan kepada dua tokoh Muhammadiyah: Djarnawi Hadikusumo (Ketua Umum) dan Lukman Harun (Sekretaris Jenderal). Sejak coup d‘etat Jailani Naro (orang pemerintah) terhadap kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, maka politik Muhammadiyah bergeser ke politik non-partai. Meskipun, ada juga orang Muhammadiyah yang masih di partai, setelah Parmusi fusi ke PPP pada 1973.

Keterlibatan Muhammadiyah dalam pergumulan politik menunjukkan bahwa politik merupakan sarana dakwah yang perlu ditangani. Namun, sikap politik “harga mati” orang-orang Muhammadiyah menjadikan pihak penguasa merasa tidak nyaman. Pada era orde lama Muhammadiyah tidak bergabung dalam NASAKOM (Nasional Agama Komunis); rejim penguasa tidak membedakan antara Masyumi dan Muhammadiyah, terutama setelah NU keluar dari Masyumi. Presiden Soeharto pernah menawarkan kepada orang-orang Masyumi masuk kabinet orde baru. Tawaran diterima asalkan Masyumi direhabiltasi. Soeharto meyakinkan bahwa ABRI, yang terlibat penanganan PRRI, tidak setuju untuk merehabilitasi Masyumi. Pak Harto mencoba meyakinakan contoh masuknya orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) tanpa harus mengkaitkan dengan partai asal mereka. Seperti diketahui, Masyumi dan PSI adalah partai yang sama-sama dibubarkan orde baru karena dituduh terlibat dalam PRRI.

Penggiringan opini bahwa Muhammadiyah termasuk kelompok intoleran dan non-kompromis terus dirasakan. Banyak tokoh dan ulama yang berafiliasi dengan Muhammadiyah ditangkap karena tuduhan terlibat Komando Jihad. Kebijakan rejim penguasa memperlemah potensi kekuatan politik ummat dilakukan melalui pemanfaatan isu radikalisme dan terorisme. Isu ini melebar pada ujaran kebencian dan persoalan primordialisme yang lain. Disamping itu, beberapa kasus amal usaha Muhammadiyah (AUM) kemasukan orang tidak dikenal yang diindikasikan sebagai kelompok “radikal”. Hal itu menjadi alasan rejim untuk mencurigai Muhammadiyah. Persoalan menjadi berkepanjangan karena Muhammadiyah tidak pernah menanggapi tentang hal ini. Alasan sangat sederhana, karena “tidak melakukan”, maka biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Sejak itu Muhammadiyah menunjukkan sikap pasif terhadap politik praktis. Sikap ini diperkuat dengan “menjaga jarak yang sama dengan partai politik.”

Kondisi di atas menjadikan Muhammadiyah semakin jauh dari politik kekuasaan. Kalau ada orang Muhammadiyah di dalam pemerintahan, hal ini karena faktor profesionalitas dan kompetensi yang dimiliki. Sebaliknya, politik “adiluhung” (high politics) nampak semakin menguat. Politik ini lebih menekankan penanaman etika moral agama dalam setiap pribadi Muslim melalui program pendidikan. Kyai Dahlan mengajar di Sekolah Pamong Praja di Jetis Yogyakarta dan Magelang adalah untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan agama yang cukup. Mereka dinilai penting karena sekembalinya ke daerah masing-masing akan menjabat. Kebijakan mereka akan berdampak pada rakyat.

Pilpres 2024

Pengalaman dan partisipasi warga Muhammadiyah di atas, langsung atau tidak, mendasari pilihan terhadap pasangan Capres-Cawapres 2024. Apalagi Persyarikatan juga memberikan kelonggaran kepada anggotanya untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon (Paslon) pilihan masing-masing. Cuti diharuskan bagi yang berada dalam struktur organisasi maupun AUM jika masuk Tim Sukses dan tidak membawa simbol serta nama Muhammadiyah. Ukuran standar pemilihan tetap mengacu pada kualitas keimanan Paslon (QS. Ali Imran: 28). Namun, dari pemantauan berbagai sumber, warga Persyarikatan merata menjatuhkan dukungan kepada semua Paslon.

Dukungan terhadap Paslon 01 karena dinilai memiliki standar keimanan, dibandingkan dengan dua Paslon yang lain, secara akademis mumpuni, menjunjung tinggi nilai etika, memiliki konsep ekonomi, dan diyakini mampu mengatasi persoalan yang ditinggalkan Presiden Jokowi. Tagline yang diusung adalah perubahan, karena ingin mengganti semua kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada keutuhan negara dan kesejahteraan rakyat. Dukungan terhadap Paslon 02 didasarkan alasan: pertama, keyakinan kemenangan Paslon 02 karena dukungan logistik yang melimpah; kedua, dukungan istana dengan cabang kekuasaan di Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri. Proses di lapangan tidak ada hambatan karena immune dari aturan. Sedang mereka yang memilih Paslon 03 lebih dikarenakan ikatan emosional. Dan, mungkin jumlahnya tidak sebanyak pilihan kepada Paslon 01 dan 02.  

Meskipun mereka berbeda pilihan, tetapi suasana tetap cair. Semuanya menyadari bahwa Muhammadiyah tetap lebih penting dari hanya sekedar perbedaan pilihan Capres-Cawapres.

Manusia Chatbot

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *