Manusia Chatbot
Oleh: Rokib Mo (Dosen Unesa dan mahasiswa di Universitas Frankfurt)
Saat kembali pulang usai beberapa tahun tinggal di Frankfurt, terasa banyak hal yang berbeda dari empat sampai lima tahun lalu. Keluarga, teman, kolega, dan lingkungan aktivisme persyarikatan tampak lebih sering menatap layar ponsel daripada berbincang leluasa sesamanya. Terasa sulit menemukan orang yang mengabaikan layar gawai di setiap momentum. Ihwal ini bahkan tampak dalam forum resmi sekalipun. Banyak orang dalam rapat, pelatihan, perkuliahan, dan forum resmi lainnya yang mencari kesempatan menengok gawai secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Padahal, belum tentu ada telepon atau pesan yang harus dijawab. Entahlah, ini seperti tindakan bawah sadar yang terbiasakan.
Apa kira-kira yang membentuk kebiasaan baru ini? Bagaimana implikasinya bagi kita? Dua hal ini yang saya diskusikan dalam tulisan pendek ini. Tentu saja ini pendapat pribadi yang mengharapkan tanggapan dari sudut pandang lain agar terjadi dialektika. Pertama, perilaku kita pelan-pelan dibentuk oleh gaya komunikasi chatting yang mengasyikkan. Hal ini termasuk obrolan di Whatsapp dan media sosial lainnya serta komentar-komentar di Youtube, Short, Reels, dan Tik-Tok.
Coba kita perhatikan karakter chatting di ruang-ruang maya. Bentuknya cenderung pendek bahkan singkat. Ada alur yang khas dan berbeda dengan percakapan atau pembicaraan tatap muka. Chatting juga dapat membentuk hiruk-pikuk dengan mudah karena para peserta saling melontarkan teks pendek dengan mudah. Apalagi tentang topik hangat seperti Debat Capres dan Cawapres. Seringkali antara satu pesan dengan lainnya tidak sinkron dan tidak nyambung. Faktanya, ternyata justru ini yang lebih disukai kebanyakan orang. Sebab, bukan relevansi dan keterkaitan yang menjadi penting melainkan kesesuaian, selera, dan keinginan masing-masing peserta obrolan yang utama.
Peristiwa obrolan tentang Debat Capres dan Cawapres, misalnya. Ini contoh sangat terang bagaimana setiap komunikan berhasrat memenuhi keinginannya. Masing-masing pecinta tiga calon sudah memiliki ekspektasi dan tentu menilai calonnya sebagai pemenang. Tak mudah ditemui yang berargumen proporsional-obyektif. Dalam keseharian, mengobrol online seolah menjadi candu yang menjelma kewajiban. Sebab, ada rasa nyaman, intim, santai, personal, dan kelegaan saat mengetikkan kata di ruang maya. Belum lagi ketika ada orang yang tiba-tiba mengirim pesan: “Assalamu’alaikum”. Sebagian orang merasa berkewajiban membalasnya. Juga tentang pertanyaan atau sapaan lainnya. Ada semacam tekanan dalam komunikasi ini.
Dalam chatting, memang ada kepuasan yang lebih dari sekadar informasi apalagi ilmu. Tidak penting lagi kebenaran informasi atau keabsahan ilmu. Kepuasan itu lebih cepat terwujud melalui teks-teks pendek yang mudah dicerna tanpa harus berpikir panjang, apalagi mendalam. Pesan teks lalu membentuk persepsi yang kerap menjadi kebenaran informasi. Hal ini terus-menerus kita bentuk menjadi kebiasaan yang mewajibkan. Bahkan tanpa aktifitas chat, sebagian orang dapat merasa terganggu dan gelisah.
Kedua, dalam menilik implikasi candu chatting, kita perlu mempertimbangkan pemikiran filsuf Islam abad ke-14: Ibnu Khaldun. Meski tak langsung menggunakan terma chatting atau obrolan, dia menyoroti pentingnya integrasi sosial untuk stabilitas masyarakat. Terlibat dalam ghibah melalui obrolan dapat mengganggu integrasi sosial dengan memupuk sikap negatif dan memecah belah individu. Ini dapat menyebabkan hubungan sosial yang terfragmentasi dan menghambat pembentukan komunitas yang harmonis.
Dalam karya berjudul “Muqaddimah”, Ibn Khaldun menekankan konsep asabiyyah atau solidaritas kelompok sebagai kekuatan pendorong kebersamaan sosial. Dalam konteks ini, praktik obrolan yang kadang juga bersifat ghibah dapat melemahkan ikatan solidaritas kelompok. Komunikasi pendek, singkat, sentimentil, dan tidak lengkap dapat memicu ketidakpercayaan dan permusuhan, merusak rasa persaudaraan yang sangat penting untuk kebersamaan.
Keheningan rasanya menjadi mahal di Era Chatting sekarang ini. Mungkin saja kita dapat diam tidak berbicara, tapi jemari yang mewakili kecamuk pikiran kita belum tentu bisa. Bahkan, tanpa lawan chat pun kita bisa. ChatGPT dengan Artificial Intelligence (AI) telah dikembangkan oleh OpenAI sebagai solusinya. Kita dapat bertanya dan curhat tentang apa saja dan semau kita secara acak dan tak harus runtun. Respons ChatGPT dapat dengan sabar dan cepat melayani hampir semua obrolan kita.
Rasanya, pelan-pelan pola obrolan maya kita di Whatsapp dan platform lainnya mirip seperti yang tercipta di Chatbot. Respons cepat dan tergesa menjadi utama. Membangun komunikasi untuk mempererat solidaritas dan kebersamaan sosial tak lagi jadi faktor pertama. Abad ini terasa telah lahir “manusia-manusia chatbot” yang mempercayai ruang maya untuk kehidupan bersama.