Tidak Ada Dewa Janus di Palestina
Oleh Hajriyanto Y. Thohari (Wakil Ketua MPR RI 2009-2014)
Dalam mitologi Yunani adalah seorang dewa yang diberi nama Janus. Orang Yunani kuno percaya bahwa Dewa Janus mempunyai dua muka yang masing-masing menghadap ke arah yang berlawanan. Adalah seorang ahli sosiologi Perancis, Maurice Duverger namanya, yang menganalogikan politik itu seperti dewa Janus: politik itu memiliki dua wajah yang bersifat kontradiktif dan ambivalen. Pertama, wajah konflik; kedua, wajah konsensus atau kompromi. Menurut Duverger tidak ada politik tanpa konflik, bahkan secara agak dramatis dia mengatakan bahwa hakekat politik adalah konflik. Pasalnya, salah satu dimensi politik adalah perebutan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan.
Seperti Janus yang bermuka dua, demikian juga politik: bermuka dua. Politik tidak melulu berwajah konflik, melainkan juga konsensus, kompromi atau resolusi konflik. Pasalnya, politik juga merupakan metode dan atau instrumen untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, apalagi peperangan. Politik adalah seni berkompromi demi untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Walhasil, sehebat-hebatnya dan sekeras-kerasnya konflik selama itu konflik politik, maka akan dapat diselesaikan secara politik. Pasalnya, politik adalah mekanisme menyelesaikan masalah tanpa kekerasaan.
Palestina: Konflik yang Kelewat Lama
Sejak kecil ketika mulai belajar membaca di tahun-tahun 1960-an, saya mulai mengenal adanya konflik dan perang Arab-Israel. Belakangan saya semakin lebih mengerti lagi kalau ternyata konflik dan perang tersebut telah mulai meledak sejak berdirinya Israel tahun 1948, jauh sebelum saya lahir. Lebih belakangan lagi saya semakin lebih mengerti lagi bahwa kerusuhan sosial politik antara bangsa Arab Palestina dan para pendatang Yahudi dari luar Palestina sudah mulai terjadi ketika keluar Deklarasi Balfour 1917. Deklarasi Balfor adalah adalah surat yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, yang isinya dukungan untuk memberikan Tanah Air kepada bangsa Yahudi (a national home for the Jewish people).
Walhasil, konflik dan perang Arab-Israel ini sudah berusia lebih dari satu abad! Tetapi meski sudah lebih dari satu abad (baca: seratus tahun!) konflik dan perang ini belum ada tanda-tanda sama sekali akan segera berakhir, apalagi kedua pihak akan melakukan kompromi atau perdamaian. Bukan hanya itu, subyek konflik dan perang itu pun sampai sudah mengalami pergeseran yang cukup signifikan: pada mulanya konflik Arab-Israel bergeser menjadi konflik Palestina-Israel, dan belakangan malah bergeser menjadi semakin lebih menyempit lagi menjadi konflik dan perang HAMAS-Israel. Tetapi tetap saja konflik dan perang itu terus berlangsung bahkan semakin sengit, kejam dan tanpa perikemanusiaan.
Pertanyaannya adalah konflik jenis apakah ini? Apakah ini konflik politik, konflik ideologis, konflik kebudayaan, ataukah malah konflik peradaban (clash of civilization) seperti yang disinyalir Samuel Huntington yang meniru Bernard Lewis? Pertanyaan ini mengusik hati kita karena, itu tadi, berlarut-larutnya konflik ini. Pertanyaan ini lebih mengganggu kita karena, lihat saja, begitu pecah perang HAMAS-Israel pada 7 Oktober kemarin, Amerika melalui Presiden Joe Biden langsung berpidato memberikan dukungan penuh kepada Israel, bahkan mengirimkan Kapal Perang Induk The USS Gerald Ford yang besarnya tidak ketulungan itu. Inggris, Jerman, Perancis, dan hampir semua negara-negara Barat (kecuali Irlandia) juga tanpa tedeng aling-aling dan tanpa malu-malu melakukan butek (kebulatan tekad) mendukung dan membela penuh Israel.
Sekali lagi apakah benar konflik Palestina-Israel ini konflik politik? Pertanyaan ini sangat relevan dan wajar muncul. Pasalnya, jika konflik tersebut merupakan konflik politik mestinya sudah bisa diselesaikan sejak lama. Jika konflik Palestina-Israel adalah konflik politik niscaya tidak akan memakan waktu sebegitu lama untuk memecahkannya dan mengakhirinya. Lihat saja, misalnya, konflik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Kerajaan Inggris mengenai Hongkong dan Makao. Selesai dengan relatif mulus dan lancar. Memang perlu waktu agak lama, tetapi akhirnya terpecahkan dan selesai kurang dari satu abad, bahkan setengah abad! Pasalnya konflik China dan Inggris mengenai status Hongkong dan Makau tersebut adalah konflik politik. Konflik politik bisa diselesaikan dengan pendekatan politik. Pasalnya, politik memiliki mekanisme penyelesian konflik tanpa kekerasan!
Konflik Indonesia dan Malaysia di awal-awal dasawarsa pertama kemerdekaan kedua negara juga politik. Tidak perlu satu dasawarsa untuk mendamaikan kedua negara yang saling ganyang mengganyang itu: ganyang Malaysia, ganyang Indonesia. Konflik Indonesia dan Singapura demikian juga. Bahkan dua orang Marinir/KKO (Usman dan Harun) yang oleh Singapura dituduh sebagai mata-mata dihukum gantung. Tapi karena hanya konflik politik segera saja bisa diselesaikan dan berakhir dengan damai. Hampir semua konflik politik bisa dislesaikan secara politik. Karena pilitik memang memiliki seperangkat mekanisme untuk menyelesaikan konflik. Politik seperti halnya diplomasi adalah alat menyelesaikan banyak permasalahan, termasuk konflik dan perang sekalipun.
Politik adalah instrumen untuk menyelesaikan sengketa dengan kata-kata, bukan dengan senjata. Dalam konteks dan perspektif seperti itulah pembaca yang budiman pasti sering mendengar orang mengatakan: “Selesaikan saja secara politik” atau “Persoalan mereka sudah diselesaikan secara politik”. Artinya, politik telah menjadi mekanisme menyelesaikan sengketa, konflik atau peperangan secara beradab. Jika suatu sengketa, konflik atau peperangan tidak bisa diselesaikan secara politik maka pada sejatinya sengketa, konflik dan peperangan tersebut bukanlah politik.
Tidak Ada Dewa Janus
Bertitik tolaak dari pengertian politik seperti itu pula kita bisa memandang konflik Palestina-Israel ini. Tampaknya konflik Palestina-Israel sulit untuk disebut konflik politik. Rasa-rasanya konflik ini bukanlah sekadar konflik politik. Jika konflik tersebut dihitung sejak tahun 1917, yakni setelah Deklarasi Balfour di mana diaspora Yahudi dari seluruh dunia mulai membanjiri tanah Palestina, atau katakanlah tahun 1948, yakni dimulai ketika Israel secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Israel di tanah Palestina yang kemudian diikuti dengan terjadinya Nakba (malapetaka atau Catastrophy bagi bangsa Palestina, yakni malapetaka pengusiran besar-besaran orang-orang Palestina dari kampung halamannya), maka sungguh itu berarti sudah amat sangat lama. Sebab, jika dihitung dari sejak Nakba berarti konflik tersebut sudah berjalan selama 75 tahun lebih. Sungguh masa 75 tahun. Apalagi jika dihitung sejak Deklarasi Balfour: lebih dari satu abad. Dan itu masa yang kelewat lama untuk menyelesaikan sebuah konflik politik.
Entah sudah berapa inisiatif perdamaian diajukan dengan tujuan untuk mengakhiri konflik tersebut, baik dengan pendekatan multilateral melalui organisasi-organisasi internasional semacam PBB dan Liga Arab, maupun unilateral seperti yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara besar lainnya: semuanya mentah dan dimentahkan, mentok dan dimentokkan, atau gagal dan digagalkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja sejak tahun 1946 telah mengeluarkan tidak kurang dari 700 resolusi Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly, UNGA) dan lebih dari 100 resolusi Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Councils) sehubungan dengan konflik ini. Resolusi-resolusi ini tidak juga membawa penyelesaian konflik, apalagi perdamaian, bahkan tidak membuka jalan menuju perdamaian yang seperti yang diharapkan.
Belum lagi prakarsa atau inisiatif dari organisasi-organisasi internasional dan regional lainnya yang juga melakukan langkah-langkah untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian. Demikian juga negara-negara besar dan adidaya dunia yang selama ini memegang hegemoni dan dominasi kawasan juga “gigih” berusaha mendamaikan keduanya. Ada Perjanjian Gencatan Senjata 1949, Rencana Allon (1967-1980), Rencana Rogers (1969), Konferensi Jenewa (1973), Kesepakatan Camp David (1978), Perjanjian damai Mesir-Israel (1979), Konferensi Madrid (1991), Perjanjian Oslo (1993), Perjanjian damai Israel–Yordania (1994), KTT Camp David 2000, Arab Peace Inisiatif (2002), dan terakhir Deal of the Century atau Peace To Prosperity (2020): semuanya hanya memberikan penyelesaian parsial alias tidak berhasil mengakhiri konflik dan perang secara hakiki, untuk tidak mengatakan gagal.
Melihat berlarut-larutnya konflik Palestina-Israel saya sering menjadi khawatir bahwa konflik ini memang bukan konflik politik. Ada banyak pertanyaaan, bahkan keanehan, dalam kasus Palestina-Israel. Makin lama dan panjang konflik Palestina-Israel terkatung-katung tanpa penyelesaian semakin yakinlah saya bahwa ini bukan konflik politik. Pasalnya, politik adalah seni untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Jika suatu konflik berputar berkepanjangan, dan berputar tak berkesudahan, maka itu bukan konflik politik. Teori Dewa Janus tidak berlaku dalam konflik Palestina-Israel. Tidak ada Dewa Janus di Palestina.