#Opini

Introspeksi Posisi Diri Bermuhammadiyah

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk (Anggota LPCR-PM PWM Jawa Timur; Alumni Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan)

Sesekali waktu, sebagai seorang aktivis Persyarikatan mungkin perlu bertanya kepada diri sendiri sebagai latihan ujian tentang sejauhmana pengetahuan dan keyakinan dalam bermuhamma­diyah. Kita bisa bertanya, “Untuk apa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah? Untuk apa Muham­ma­diyah didirikan di tempat saya tinggal? Mengapa saya harus ada di dalamnya? Mau apa sih saya bermuhammadiyah dan ada di dalamnya?”

Lebih dari itu, pertanyaan itu bisa diteruskan, “Misi dan cita-cita apa yang akan saya bangun dengan ber­mu­hammadiyah? Apa yang sudah saya perbuat untuk mewujudkan cita-cita saya tadi? Bagaimana saya melakukannya? Dan sudah sampai titik mana saya berusaha mencapainya? Dengan si­apa saya melakukannya? Sudahkah ada kebersamaan saat saya bersama mereka? Jangan-jangan ha­nya bentuk wadag-fisiknya saja bersama, tapi cita-cita dan keinginannya berbeda?” Dan masih banyak lagi pertanyaan renungan tentang bermuhammadiyah kita.

            Pertanyaan reflektif tersebut penting diungkapkan agar seorang aktivis senantiasa lurus di jalan-Nya. Jika tidak sama dengan maksud Kyai Dahlan dan tujuan Islam pada umumnya, maka hasilnya pun akan berbeda dari semangat yang pernah ditanamkan sang pendiri dengan Islam sebagai landasan teologisnya. Sangat mungkin, seseorang akan berorganisasi dengan seenaknya, semaunya dan sepikirannya sendiri. Atau, dalam bermuhammadiyah ia akan terjebak proyeksi hanya meraih ketenaran. Bangga dengan jabatan dan kedudukan, tapi tidak ada yang dikerjakan. Berusaha sekuat tenaga untuk merebut jabatan di amal usaha dan atau berupaya menguasai lingkaran kepemimpinan di Muhammadiyah.

Lebih naif lagi, jika “jalan kekuasaan” itu dianggap sebagai bagian dari (jalan) menegakkan kebenaran menurut dirinya sendiri, dan menghancurkan kebatilan. Sebab, orang lain dan teman seperjuangan di Persyarikatan dianggap sebagai musuh dan kebatilan yang harus disingkirkan. Ia akan merasa benar sendiri dengan memakai pelbagai macam alat dan alasan pembenaran. Merasa pandai, tapi tidak pandai merasa.

            Cara bermuhammdiyahnya pun tidak menunjukkan sikap sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW. Mudah mencemooh dan tidak simpatik kepada orang lain. Berebut kedudukan saat musyawarah tertinggi di tingkatnya senantiasa dilakukan. Mempolitisir warga Persyarikatan, padahal Muhammadiyah bukan partai politik yang harus direbut. Membuat kasak-kusuk untuk melakukan boikot dan kebencian. Mempengaruhi dan memecah belah warga Muhammadiyah dengan membuat isu dan fitnah.

            Padahal, sebagaimana pesan para sesepuh, bermuhammadiyah itu harus menggembirakan orang lain. Orang yang baru masuk merasa betah ada di dalamnya. Meski kadang tidak sesuai dengan ideologi Muhammadiyah tidak kemudian begitu saja dikeluarkan atau dihabisi potensinya. Apalagi jika dia seorang “muallaf”. Ketika ada jamaah pengajian yang baru masuk dari tetangga sebelah tidak kemudian “dihabisi” dengan doktrin TBC dan justifikasi kesyirikan yang begitu keras dengan bahasa yang lugas.

            Dalam konteks yang lebih jauh, kita mungkin perlu meminjam istilah Imam Al-Ghazali untuk memetakan tipologi manusia dalam menginstrokpsi dirinya sendiri. Pertama, di Muhammadiyah itu ada yang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya mengetahui tentang Muhammadiyah dan memahami pula apa yang akan dilakukan. Inilah golongan Muhammadiyin tulen.

            Kedua, dia mengetahui tentang Muhammadiyah tetapi dia tidak menyadari bahwa  dirinya mengetahui tentang Muhammadiyah. Orang seperti ini bisa positif ketika ia dalam rangka bersikap rendah hati kepada orang lain. Tetapi, akan menjadi negatif manakala ia justru menjadi resisten (ndablek) manakala ia tidak pandai memahami dirinya sendiri. Mengabaikan pengetahuannya tentang Muhammadiyah.

            Ketiga, dia tidak mengetahui tetapi dia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui tentang Muhammadiyah. Artinya, ia masih mau belajar, mengikuti pengajian di Muhammadiyah, dan memperbaiki diri sesuai dengan khittah ideologi Muhammadiyah.

            Keempat, dia tidak mengetahui Muhammadiyah, tetapi dia tidak sadar bahwa dirinya tidak mengetahui Muhammadiyah. Inilah golongan yang paling parah. Bisa jadi, dalam bermuhammadiyah dia hanya akan ikut-ikutan dan tidak memiliki arah yang tepat dalam bermuhammadiyah. Ia merasa bahwa apa yang ia lakukan sudah sesuai dengan koridor aturan Muhammadiyah. Padahal, sejatinya kurang tepat.

            Untuk mendeteksi sampai di mana dan berada pada level mana kita bermuhammadiyah dan menjadi (becoming) Muhammadiyah, maka kita perlu merenungkan beberapa pertanyaan yang disebutkan di awal tulisan ini. Menjadi aktifis dan terus berorganisasi (beraktifitas) itu penting. Tetapi, lebih penting lagi ketika kita jeda sejenak untuk merenung (tafakkur) dan berintrospeksi (muhasabah) atas kemuhammadiyahan kita. Selamat merenung dan menempatkan diri Anda di Muhammadiyah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *