Indonesia Dibangun di atas Gagasan
Oleh: Nur Cholis Huda (Penasehat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim)
Indonesia dibangun di atas gagasan. Pendapat ini dikemukakan Anies Rasyid Baswedan. Dibangun atas dasar pertukaran pikiran yang mendalam. Itu fakta sejarah. Ketika para pendiri republik berpikir tentang dasar negara, maka berlangsung tukar pikiran bukan sehari dua hari tetapi berhari-hari. Mulai 2 Juni sampai 21 Juni 1945.
Para pendiri republik yang tergabung dalam BPUPKI berdebat panjang, seru dan panas apakah negeri nanti berdasarkan Islam atau Pancasila. Maka akhirnya pad 21 Juni 1945 disepakati Pancasila sebagai dasar negara dengan perubahan. sila ketuhanan diletakkan urutan pertama dengan tambahan tujuh kata: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Konsensus ini dikenal dengan Piagam Jakarta.
Meskipun sudah terjadi konsensus, masih terjadi ganjalan di hati sebagian anggota BPUPKI. Latuharhary dari Protestan keberatan terhadap anak kalimat itu karena khawatir implikasi terhadap pemeluk agama lain. Maka demi keutuhan negeri yang akan berdiri, golongan Islam bersedia berkorban dengan menghapus tujuh kata itu. Ki Bagus Hadikusuma menambahkan kata yang Maha Esa. Maka sila pertama Pancasila berubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Kata yang Maha Esa diambil Ki Bagus dari Al-Qur’an Surat al Ikhlas
Kalau saja golongan Islam menolak, maka tidak salah karena sudah jadi konsensus yang disetujui seluruh anggota BPUPKI. Tetapi demi Indonesia yang kokoh bersatu akhirnya golongan Islam bersedia tujuh kata itu dihapus. Karena itu Menteri Agama di era Presiden Soeharto, Alamsyah Ratuprawiranegara sering mengatakan Pancasila adalah hadiah dari umat Islam.
Pancasila kemudian menjadi seperti sekarang ini. Lalu disyahkan tanggal 18 Agustus 1945. Maka ada yang berpendapat bahwa Pancasila lahir 18 Agustus 1945. Bukan 1 Juni 1945 seperti ketetapan pemerintah sekarang. Ketetapan 1 Juni itu didasarkan pada tanggal Bung Karno menyampaikan konsep. Padahal konsep Bung Karno berbeda dengan Pancasila yang sekarang dan bukan satu-satunya orang mengajukan konsep tentang dasar negara.
Pada tahun 1945 sebagian besar masyarakat Indonesia masih buta huruf. Tetapi para pendiri negeri ini dengan gagasannya telah merumuskan tujuan proklamasi yang cemerlang. Meliputi negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, makmur, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah amanat proklamasi yang harus ditunaikan generasi berikutnya. Tentu membangun negeri tidak cukup hanya dengan gagasan besar. Harus disertai dengan narasi lalu direalisasi dengan aksi. Boleh kerja, kerja, kerja tapi harus berangkat dari gagasan. Tanpa gagasan maka kerja bisa kehilangan arah.
Setelah 78 tahun merdeka, apakah kita masih sebagai bangsa yang kaya gagasan ? Atau sebaliknya memilih aksi tanpa gagasan, hanya untuk memuaskan ambisi pribadi ? Polusi kehidupan sering membuat hidup berubah arah. Bahkan banyak orang menjadi nekat. Salah satu contoh orang nekat adalah Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang benafsu mengambil alih Partai Demokrat.
Dia orang luar partai, bukan anggota Partai Demokrat tetapi berniat mengambil alih. Sudah berkali-kali gagal di pengadilan mulai tingkat bawah sampai atas. Termasuk penolakan dari Menkumham. Namun karena nekat terus saja dia maju. Kini dia mengajukan kasasi ke MA. Orang nekad kadang tidak kenal etika bahkan kadang tidak kenal malu.
Orang menebak tujuan akhir ialah menggagalkan Anies menjadi capres. Kalau Demokrat sudah dikuasai, maka dukungan Demokrat kepada Anies ditarik. Anies tidak bisa menjadi capres karena dukungan partai tidak mencukupi.
Pak Moeldoko sebagai KSP adalah pejabat negara yang dekat dengan presiden. Pembegalan ini terjadi seakan di depan hidung istana. Orng bisa bertanya mengapa istana membiarkan pembegalan ini terus berlangsung? Pertanyaan ini bisa berkembang liar. Apakah memang istana merestui, atau menyetujui atau bahkan diam-diam menugasi. Yang pasti tidak mungkin tidak tahu. Kita yang awam dan jauh dari istana saja mengetahui langkah nekat ini.
Mungkin istana berdalih itu bukan urusan istana. Itu urusan Moeldoko peribadi. Tidak ada hubungannya dengan istana. Tapi ada orang istana yang melakukan pembegalan partai dan menghancurkan demokrasi, mengapa dibiarkan?
Mungkin sudah dinasehati atau ditegur. Namun tetap nekad. Itu masyarakat tidak tahu. Tahunya Moeldoko baik-baik saja dan terus melanjutkan aksinya. Apakah kini para tokoh makin kering gagasan?