Etika Global
Oleh: Syafiq A Mughni (Guru Besar UIN Sunan Ampel; Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Etika Gobal (Global Ethic) adalah sebuah rumusan moral yang dimaksudkan menjadi acuan bagi warga dunia untuk membangun kehidupan damai dan berkeadilan. Gagasan itu lahir dalam situasi dunia yang semakin menunjukkan arah yang memprihatinkan. Ketegangan, konflik dan perang terjadi di berbagai belahan dunia baik yang bernuansa politik, ekonomi, etnis maupun agama.
Di samping itu, akibat keserakahan dan pemborosan sumber daya alam terjadilah kerusakan lingkungan sehingga menyebabkan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, naiknya permukaan laut, dan perubahan iklim yang ditandai dengan semakin memanasnya suhu di permukaan bumi. Situasi tersebut tidak akan melahirkan tatanan kehidupan global yang sejahtera, aman, damai, dan kerkeadilan.
Bagi siapapun yang merindukan berkembangnya kehidupan yang penuh kemaslahatan dan menginginkan peran besar agama dalam kerangka itu sangat layak untuk mempertimbangkan Etika Global sebagai salah satu agenda perjuangan pada tataran pemikiran ataupun aksi. Situasi kemelut dunia seperti itulah yang menyebabkan seorang pemikir dari Jerman, Hans Kung, pada tahun 1980an termenung dan bertanya, “Dapatkah ada perdamaian di muka bumi tanpa perdamaian antaragama?” Jawabannya, “tidak.”
Masalahnya adalah bagaimana cara untuk mengakhiri konflik-konflik itu? Di dalam tradisi agama-agama terdapat ajaran moral yang mendorong keadilan, kesamaan, dan kebebasan dari kekerasan. Kung kemudian berfikir bahwa jika komitmen moral seperti itu bisa dirumuskan dan dijadikan konsensus, maka itu akan menjadi landasan bagi kerjasama untuk bergerak secara damai untuk mengembangkan kepedulian bersama.
Pertemuan Kung dengan tokoh-tokoh agama dari Parlemen Internasional Agama-Agama Dunia di Chicago, USA, pada tahun 1993, melahirkan sebuah dokumen yang berjudul “Towards a Global Ethic.” Pertemuan itu tampaknya menjadi tonggak bersejarah antaragama, karena dalam pertemuan inilah dokumen “Towards a Global Ethic, An Initial Declaration” diluncurkan dan ditandatangani oleh hampir seluruh wakil agama-agama dan tradisi-tradisi keagamaan sedunia.
Global Ethic yang dirumuskan memiliki landasan dalam ajaran agama-agama, dan karena itu tidak akan bertentangan dengan ajaran agama manapun. Bahkan, setiap agama akan menyumbangkan nilai-nilai luhur untuk mengatur kehidupan manusia dan kemudian membangun kerja sama untuk menegakkan nilai-nilai itu. Nilai-nilai tersebut juga tidak bersifat eksklusif agama karena kalangan agnostik atau humanis sekuler sekalipun bisa menemukan di sana nilai-nilai yang sama.
Ada empat komitmen moral yang menjadi landasan bagi Global Ethic itu, yakni (1) Komitmen pada sebuah budaya nir-kekerasan dan penghargaan terhadap kehidupan, (2) Komitmen pada sebuah budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang berkeadilan, (3) Komitmen pada sebuah budaya toleransi dan kejujuran, (4) Komitmen pada sebuah budaya yang menggambarkan hak-hak yang seimbang dan kerjasama antara pria dan wanita.
Global Ethic adalah sebuah upaya untuk merumuskan norma-norma moral yang dimiliki oleh tradisi-tradisi agama di dunia ini, sehingga tidak mengandung posisi terhadap persoalan yang kontroversial, seperti aborsi, hak-hak LGBT, dan perkawinan sejenis. Ajaran-ajaran etika yang dikembangkan juga tidak akan menjadi sinkretisme (percampuran) teologis ataupun relativisme (kenisbian) doktrin karena tidak mengusik sama sekali ajaran masing-masing agama.
Global Ethic telah menjadi khazanah umat manusia yang sangat berharga. Prinsip-prinsip moral yang dikembangkan telah menjadi tema penting dalam berbagai pertemuan dunia. Dengan Global Ethic, agama-agama akan memberikan sumbangan berharga bagi kemaslahatan dunia dan tidak menjadi faktor lahirnya kesengsaraan yang diakibatkan oleh perilaku manusia yang destruktif (ifsad), rakus (thama’), berlebih-lebihan (israf), dan boros (tabdzir), yang semuanya akan mengarah pada hilangnya kerukunan dan perdamaian.