Benarkah Israel Melakukan Praktek Ethnic Cleansing?
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari (Penulis adalah pengamat Timur Tengah dan mantan Wakil Ketua MPR RI)
Banyak sekali pengamat politik yang menyebut “agresi” Israel ke Gaza dengan pemboman yang berskala masif (yang pada bulan ketiga sekarang ini sudah memakan korban nyaris 20.000 jiwa) itu adalah genosida (genocide). Angka 20.000 dari penduduk Gaza yang hanya 2,2 juta saja adalah jumlah yang luar biasa besar. Membunuh satu orang saja menurut Al-Qur’an sama dan sebangun dengan membunuh semua orang, bagaimana dengan membunuh sejumlah 20.000 orang? 20.000 x semua orang!
Ini bukan perang, apalagi konflik. Ini juga bukan agresi! Ini adalah genosida atau pembersihan etnis (ethnic cleansing)! Buktinya Israel menolak secara katagoris desakan dunia internasional melalui PBB untuk dilakukan gencatan senjata. Bahkan Amerika Serikat, pembela Israel kelas wahid, tanpa tedeng aling-aling menjatuhkan veto di Dewan Keamanan PBB bagi dikeluarkannya resolusi untuk genjatan senjata di Gaza. Apa artinya menolak Gencatan senjata jika tidak dimaksudkan untuk melanjutkan agresi militer yang brutal, kejam dan membunuh itu? Dan jika pembunuhan masal melalui agresi militer tersebut tidak disebut pembersihan etnis, akan disebut apalagi aksi tersebut?
Maksimal 20% Saja?
Menyaksikan gelagat dan kelakuannya selama ini tampaknya Israel bertujuan bukan hanya sekadar mendirikan negara di bumi Palestina, menganeksasi semua tanah milik penduduk asli orang-orang Palestina, serta melanggengkan dominasinya di sana, sebagaimana yang dipraktekkan selama ini, melainkan juga ada tendensi ingin menghapuskan eksistensi bangsa Palestina dengan segala identitasnya.
Orang Palestina mungkin boleh saja eksis di bagian bumi Palestina di bawah kekuasaan Israel, tetapi jumlah dan proporsi mereka terhadap warga Yahudi adalah tetap status quo seperti proporsi jumlah penduduk seperti yang dipertahankan sampai sekarang ini di mana orang Arab Palestina berjumlah kurang-lebih 18% saja, dan mutlak tidak boleh melampaui angka 20%. Angka 20% adalah lampu merah bagi eksistensi Israel oleh karena akan mencederai Israel sebagai negara Yahudi yang murni. Bukankah ini sangat rasis dan apartheid?
Keberadaan bangsa Arab Palestina yang tinggal di Israel sebagai warga negara Israel yang jumlahnya sebesar itu adalah bukan sekadar angka belaka, melainkan memiliki makna yang sangat substansial bagi eksistensi negara Israel. Pertama, keberadaan orang-orang Arab Palestina sebagai warga negara Israel penting dan strategis sebagai etalase bagi dunia internasional, terutama Amerika Serikat, sekutu istimewanya, bahwa Israel benar-benar negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan sebagaimana negeri Paman Sam. Dukungan Amerika terhadap Israel adalah bipartisan, dan itu menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Amerika mendukung Israel. Mengapa dukungan Amerika kepada Israel sebesar itu? Jawabannya banyak. Tapi salah satu yang terpenting adalah Israel sama dengan Amerika: negara dan bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi.
Kedua, angka maksimal 20% itu penting untuk menjamin eksistensi dan kebertahanan Israel sebagai negara Yahudi atau negara yang bersifat Yahudi. Kemurnian Israel sebagai negara Yahudi penting karena kaum Yahudi adalah the Chosen People. Komitmen Amerika sebagai the Chosen nation kepada Israel sebagai the Chosen People dihubungkan oleh nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi oleh keduanya. Dalam rangka mempertahankan mayoritas 80% tersebut Israel menolak secara kategoris kembalinya para pengungsi dan exile Palestina ke bumi Palestina. Israel bukan hanya menolak hak kembali para pengungsi (the right for return), bahkan sejatinya ingin mengusir lebih banyak lagi orang Palestina yang kini masih bertahan di tanah Palestina. Intinya, orang Palestina boleh saja hidup dan tinggal di mana saja, tetapi tidak di dekat-dekat Palestina, apalagi di atas tanah Palestina.
Dalam agresi Gaza pasca 7 Oktober 2023, sekarang ini pada sejatinya Israel memiliki agenda tersembunyi mengusir para pengungsi Palestina di Gaza yang jumlahnya 60% dari penduduk Gaza yang 2,4 juta untuk meninggalkan Gaza. Tetapi Mesir dan Yordania alih-alih menampung pengungsi sejumlah itu, bahkan wilayahnya sekadar dilewati para pengungsi saja kedua negara itu tidak mengijinkan. Mesir dan Yordan sudah merasa terbebani dengan pengungsi Palestina yang mereka tampung sejak tragedi Nakba 1948 yang jumlahnya sekarang sudah beranak pinak menjadi jutaan orang.
Israel dan Amerika sudah sepakat bahwa para pengungsi Palestina akan diperjuangkan untuk menjadi warga negara tempat mereka sekarang ini mengungsi. Negara-negara Lebanon, Yordan, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya telah lama dibujuk untuk menjadikan pengungsi Palestina menjadi warga negaranya dan Amerika akan membayar kompensasi dengan hitungan per kepala. Dalam proposal perdamaian Peace To prosperity, A Vision to Improve the Life of Palestinian and Israeli People atau Deal of The Century (2020) yang dulu diam-diam disepakati oleh Amerika dan Israel sebelum diumumkan klausul itu sudah bukan rahasia lagi. Tetapi Lebanon menolak 420 ribu pengungsi Palestina menjadi warga negara Lebanon dengan alasan bertentangan dengan konstitusi negara. Demikian juga dengan beberapa negara Arab yang lain karena alasan yang politis dan pragmastis lagi. Sebagian besar pengungsi Palestina sendiri menolak karena rasa nasionalisme dan patriotisme mereka akan tanah airnya yang tercinta.
Ethnic Cleansing dan Genocide
Dalam konteks dan perspektif ini, maka serangkaian keputusan politik yang diambil oleh Israel baik berupa operasi militer perang maupun operasi nonmiliter selain perang pada hakikatnya tidak lepas dari agenda penghapusan etnis (ethnic cleansing of Palestine). Nakba, tegas Ilan Pappe, is an operation of ethnic cleansing which was a systematic expulsion of the Palestinian in order to de-Arabise Palestina and create on its ruins a Jewish state in 1948. Blokade terhadap pemukiman-pemukiman Palestina baik blokade darat, laut maupun udara pada sejatinya adalah untuk menghambat pertumbuhan kualitas manusia (human development index) bangsa Palestina, bahkan memerosotkannya sehingga akan berangsur-angsur habis dan punah. Pemukiman-pemukiman Palestina, apalagi yang berada di kamp-kamp Palestina, adalah pemukiman tanpa pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan perkonomian. Bangsa Palestina dipaksa berada dalam, meminjam frasa Ilan Pappe, the biggest prison on earth dalamrangka ethnic cleansing.
Kalimat terakhir dalam paragraf di atas seakan-akan kalimat propaganda atau pamflet politik yang subyektif dan insinuatif. Tetapi berdasarkan jejak-jejak Zionisme sejak 1948 pada sejatinya semuanya itu adalah realitas yang sangat historis. Yang terjadi bahkan bukan hanya genocide dalam format dan pengertian penghapusan etnis, melainkan juga dalam bentuk penghapusan sejarah melalui penghancuran arsip, dokumen, catatan, dan apapun namanya, yang menjadi bukti historis keberadaan bangsa Palestina. Melalui perpaduan antara penghapusan etnis dan sejarah ini, maka apa yang disebut dengan bangsa Palestina itu tidak pernah ada! Persis seperti kata Perdana Menteri Golda Meir: “I don’t say there are no Palestinians, but I say there is no such thing as a distint Palestinian people”.
Sangat meyakinkan penghapusan etnis tersebut bukan hanya dalam pengertian pembersihan etnis bangsa Palestina, melainkan juga penghapusan sejarahnya. Rezim Zionisme Israel menghancurkan arsip-arsip sejarah keberadaan komunitas-komunitas Palestina dengan segala propertinya sebagai bukti eksistensial bangsa Palestina di masa lalu. Penghapusan bangsa Palestina bukan hanya dilakukan dengan menghapuskan Palestina dari peta duniaseperti yang kita lihat selama ini, melainkan juga melalui cara-cara penghancuran jejak-jejak kehidupan, arsip dan sejarahnya (Lihat Ilan Pappe, “An Indicative Archive: Salvaging Nakba Documents”, Journal of Palestine Studies, Vol. XLIX, No. 3, 2020).
Israel bukan hanya dengan berdalil secara “akademis” bahwa bangsa Palestina itu tidak pernah ada, atau baru ada setelah 1967, melainkan juga dengan menghapuskan arsip-arsip sejarah keberadaan komunitas-komunitas Palestina dengan segala propertinya di masa lalu. Hal ini diungkapkan dengan sangat jelas dan terang benderang dalam buku All That Remains: The Palestinian Villages Occupied and Depopulated by Israel in 1948, yang diedit oleh Walid Khalidi dan diterbitkan oleh Institute for Palestinian Studies (2006).
Juga Archives Cleansing
Bangsa Palestina bukan hanya akan kehilangan tanah airnya, melainkan juga kehilangan sejarahnya, cerita keberadaannya, dan bahkan juga sekadar dongeng-dongengnya. Bahaya akan hilang bukanlah sinyalemen kosong, apalagi propaganda belaka: Palestina memang benar-benar bukan hanya bisa hilang, melainkan memang benar-benar nyaris hilang ditelan bumi jika kaum cerdik pandai Palestina dan Arab tidak segera tersadar. Hal ini diungkapkan dengan sangat jelas dalam buku All That Remains (2006) karya Walid Khalidi tersebut. Khalidi merupakan seorang profesor raksasa yang pernah menjadi guru besar andalan dalam Kajian Timur Tengah di Princeton University.
Khalidi melalui buku itu menjelaskan secara rinci lebih dari 400 desa Palestina yang dihancurkan dan dikosongkan oleh Israel pada 1948. Diungkapkan di sini betapa hanya tinggal sedikit komunitas yang pernah berkembang di bumi Palestina yang kini tersisa: bukan hanya desa-desa, properti, dan catatan komunitas-komunitas Palestinan yang dihapus dari lanskap Palestina, melainkan juga nama-nama mereka juga telah dihapus dari sejarah dan peta Israel kontemporer. Betapa canggih dan sistematisnya upaya-upaya Zionisme, dan betapa sering tidak berdayanya bangsa Palestina dan Arab yang berada di sekitarnya dan mengelilinginya itu.
Sangat meyakinkan bangsa Palestina bukan hanya akan kehilangan tanah airnya, melainkan juga sejarahnya, cerita keberadaannya, dan bahkan sekadar dongeng-dongengnya. Wahasil bukan hanya bangsa Palestina yang dibantai (genocide dan etnic cleansing), melainkan semua jenis pusaka dan warisan bangsa Palestina juga hendak dihapuskan dari persada sejarah (heritage cleansing). Bukan hanya bangsa Palestina yang dihilangkan, melainkan semua ingatan tentang Palestina (archives cleansing). Itulah ethnic cleansing, dan itulah maunya kalangan Zionisme fundamentalis!