#Perspektif

Amerika Serikat, The Abraham Accord, dan Indonesia

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari (Duta Besar RI di Beirut)

Politik luar negeri Presiden Joe Biden di Timur Tengah mulai tersingkap. Alih-alih menjadi antitesis Presiden Trump, Biden melanjutkan banyak warisan administrasi Trump. Biden tidak menganulir keputusan Trump yang mengakui Yerusalem milik Israel dan sekaligus menjadi ibukota Israel, tidak meninjau ulang pemindahan Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem (2017), dan tidak mengevaluasi proposal perdamaian Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (2020). Yang paling konkrit adalah sikapnya terhadap The Abraham Accord (2020) yang juga konsep warisan utama Presiden Trump di Timur Tengah.

The Abraham Accords (Kesepakatan Ibrahim) kini digendong oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke negara-negara Arab dan Islam yang dianggap penting, termasuk Indonesia. Dengan Abraham Accord, Blinken bermaksud membawa sebanyak mungkin negara-negara Arab dan Islam untuk bergabung dalam kesepakatan tersebut. Belum begitu pasti seberapa banyak negara-negara Arab dan Islam dapat diyakinkan. Pada masa Trump Abraham Accord telah berhasil membawa Persatuan Emirat Arab (PEA), Bahrain, Maroko dan Sudan bargabung dan menormalisasi hubungannya dengan Israel. Walhasil Abraham Accord telah menambah empat negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah Mesir (1979), Yordania (1994), Turki (1949) dan Kosovo (2021).

Landasan Tempat Berpijak

Perkembangan baru telah terjadi: Maret menjelang April 2022, Menteri Luar Negeri Amerika, Antony Blinken melakukan kunjungan ke Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), yaitu Palestina, Israel, Maroko, dan Aljazair. Blinken bukan hanya bertemu Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, melainkan juga menggelar Negev Summit bersama Menlu Israel, Menlu Mesir, Menlu PEA, Menlu Maroko, dan Menlu Bahrain. Keberhasilan penyelenggaraan Negev Summit yang nota bene diselenggarakan di Negev, Israel, adalah fenomena baru yang luar biasa fenomenal.

Sungguh tak terbayangkan hanya dalam satu setengah tahun setelah Abraham Accord pertemuan antara pejabat setingkat menlu antara negara Arab dan Israel terjadi. Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah bahwa pertemuan tersebut terjadi di Kibbutz Sde Boker, Negev, Israel, kota tempat mantan Deklarator berdirinya Israel (1948), mendiang Ben-Gurion tinggal setelah pensiun dari perdana Menteri Israel. Dinamika perubahan politik negara-negara Arab benar-benar sulit ditebak, hatta Blinken sendiri hampir tidak percaya sehingga mengatakan bahwa summit tersebut sebagai sesuatu yang tak terbayangkan pada setengah dasawarsa yang lalu.

Fakta terselenggaranya Negev Summit memperlihatkan dengan kasat mata bahwa definisi ancaman nasional negara-negara Arab benar-benar telah mengalami pergeseran drastis: bukan lagi Israel dengan Zionismenya. Bagaimana dan apa yang dibicarakan serta disepakati dalam summit tersebut tidak banyak diketahui publik, kecuali narasi bahwa Amerika memandang Abraham Accord bisa menjadi landasan tempat berpijak bagi perdamaian antara dunia Islam, khususnya Arab atau Timur Tengah dan Israel.

Seperti diketahui The Abraham Accord disepakati oleh empat negara (Amerika, Israel, PEA, Bahrain) di Gedung Putih pada 13 Agustus 2020, enam bulan setelah Amerika meluncurkan proposal perdamaian Peace to Prosperity (28 Januari 2020) yang dikonstruksi secara sepihak tanpa melibatkan pihak Palestina. Abraham Accord dimaksudkan untuk menjadi kesepakatan negara-negara yang mayoritas menganut tiga agama rumpun Ibrahim (the Abrahamic Religions). Kesepakatan ini, meminjam konsep Pierre Bourdieu, menjadi arena (champ) tempat berpijak yang bersifat teologis, dan sekaligus modal yang sangat berharga bagi Amerika untuk melangkah mendekati negara-negara Arab dan Muslim agar bergabung dalam kesepakatan tersebut.

Tujuh butir semangat Abraham Accords, yakni perdamaian Timur Tengah dan dunia, dialog antar agama dan budaya, kerja sama dan persahabatan, toleransi dan rasa hormat, pengembangan sains dan seni, mengakhiri radikalisme, serta visi perdamaian dan kemakmuran, tidak syak lagi adalah nilai-nilai luhur yang universal. Semua agama-agama rumpun Ibrahim mengajarkan perdamaian (Islam: salam; Yahudi: syalom; Nasrani: kasih, pasifis). Perdamaian adalah aspirasi dan obsesi seluruh bangsa yang beradab.

Tidak ada alasan yang kuat bagi bangsa manapun untuk berkeberatan, apalagi menolak substansi kesepakatan tersebut secara kategoris. Satu-satunya ganjalan adalah penutup dari deklarasi Abraham Accord yang berbunyi: “Dalam semangat (baca: tujuh butir) tersebut kami menyambut hangat hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara tetangganya di kawasan di bawah prinsip-prinsip Kesepakatan Ibrahim. Dan kami terdorong untuk mengkonsolidasikan dan memperluas hubungan persahabatan tersebut berdasarkan kepentingan bersama”.

Satu-Satunya Ganjalan

Satu-satunya ganjalan bagi penerimaan atas Abraham Accords adalah dikedepankannya normalisasi hubungan dengan Israel, sementara masa depan berdirinya negara Palestina yang merdeka tetap tidak jelas peta dan prospeknya. Persoalan Palestina bukanlah semata urusan Palestina dan Israel, atau Arab dan Israel, melainkan juga persoalan Dunia Islam dan Israel (Pinhas Inbari, 2018). Bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara Islam berdiri (1959) salah satu pemicu utamanya adalah persoalan Palestina, khususnya Al-Quds atau Yerusalem.

Bagi dunia Arab dan Islam isu utama konflik Palestina-Israel adalah kepastian berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan ibukota Al-Quds atau setidaknya Yerusalem Timur. Sementara bagi Amerika concern utama dan pertama adalah bukan hanya eksistensi Israel, melainkan juga keamanan Israel, yang didefinisikan secara sepihak oleh Amerika dan Israel. Meski kemungkinan besar definisi keamanan tersebut antara Amerika dan Israel sendiri tidak sama, tetapi satu hal yang tampak jelas adalah bahwa keamanan Israel hanya terjamin manakala bukan hanya bahwa Palestina yang boleh berdiri nanti adalah Palestina tanpa militer (demiliterisasi) dan Israel lah yang bertanggung jawab atas pertahanan Palestina (Palestina berwenang untuk keamanan dalam negeri saja), melainkan juga jika seluruh negara-negara Arab dan Islam telah berdamai dan atau menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.           

Perdamaian Palestina-Israel tidak mungkin terjadi tanpa Amerika. Fatalnya Amerika mengakui Yerusalem sebagai milik Israel (2017) justu mendahului proposal Peace to Prosperity (Januari 2020) dan The Abraham Accord (Agustus 2020). Apalagi dalam Peace to Prosperity sendiri pengakuan tersebut bukan hanya dikukuhkan, melainkan juga dilegalisasi dan dilegitimasi. Walhasil, dunia Arab dan Islam dihadapkan pada situasi yang dilematis: antara desakan untuk bergabung dalam Abraham Accord dan menormalisasi hubungan dengan Israel sementara persoalan Yerusalem telah ditarik dari meja perundingan nantinya jika ada.

Pengakuan Amerika tersebut semakin menjauhkan prospek penyelesaian persoalan Palestina. Amerika yang selama ini selalu menangani status Yerusalem dengan sangat hati-hati dan cenderung menghindari pembicaraan materi tersebut karena menyadari Yerusalem merupakan titik yang sensitif, tapi Presiden Trump justru semakin menutup pintu perdamaian dengan pengakuannya terhadap Yerusalem atau Al-Quds sebagai milik Israel yang tak terbagai (undivided Jerusalem). Padahal bagi Palestina, Arab dan dunia Islam Yerusalem, sebagaimana ditegaskan oleh Walid Khalidi, intelektual raksasa Palestina yang sangat moderat, adalah “kunci perdamaian” (al-Quds Miftahu l-Salam).

Biden yang dalam kampanye pemilu mengesankan antitesis Trump dalam persoalan Palestina tidak mengoreksi langkah Trump tersebut di atas. Biden sama sekali tidak memosisikan kembali beberapa isu krusial, termasuk Yerusalem, tersebut pada posisinya sebagai bersifat status quo di bawah PBB. Rupanya benar belaka bahwa persoalan Palestina-Israel bagi Amerika merupakan isu bipartisan: tidak ada perbedaan signifikan antara Demokrat dan Republik. Biden malah langsung melompat melobi dunia Islam, termasuk Indonesia, untuk menormalisasi hubungan dengan Israel atas nama Abraham Accord warisan Presiden Trump.

Desakan Amerika untuk normalisasi hubungan dengan Israel ke depan cenderung akan semakin menguat. Apalagi setelah keberhasilan Negev Summit negara-negara Arab sendiri bukan hanya semakin akrab dengan Israel bahkan menjalin aliansi untuk menghadapi ancaman yang didefinisikan sebagai sama dan identik: Iran. Israel sejak satu atau dua dasawarsa terakhir ini telah menjelma menjadi negara yang paling dan kuat di Timur Tengah baik secara militer, politik, dan ekonomi. Kebanyakan negara Arab telah mendefinisikan hubungannya dengan Israel sebagai penting.

Keberhasilan Israel menggelar Negev Summit secara simbolik memberikan isyarat kepada dunia bahwa Israel mampu menjadi pemain politik internasional yang lincah dan handal. Israel juga memainkan peran politik yang sangat aktif dalam mediasi dan negosiasi antara Rusia dan Ukraina yang sedang berperang sekarang ini melebihi peran yang dimainkan oleh negara manapun, termasuk Amerika sendiri sekalipun. Meski hasil dari upaya tersebut masih belum tampak tetapi dunia internasional mencatat Israel sebagai telah menjelma menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan.

Barangkali karena merasa besar, kuat dan pintar, Israel juga bergeming dengan tekanan internasional untuk melakukan gencatan senjata (ceasefire, cessation) dengan Gaza sekarang ini. Meski sedang digugat ke Mahkamah Internasional (Internasional Court Justice) oleh Afrika Selatan karena melakukan genosida di Gaza, Israel tetap saja berkeras kepala melakukan agresi militer ke Gaza yang telah membunuh 35.000 warga Gaza yang kebanyakan perempuan dan anak-anak. Dalam konteks ini negara-negara Arab salah besar membuka hubungan diplomatik dengan negara Zionis Israel itu.     

Berbeda dengan negara-negara Arab, Indonesia konsisten tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sampai berdirinya negara Palestina yang merdeka dengan ibukota di Yerusalem. Indonesia yang demokratis tidak mudah memutuskan sikap atas desakan Amerika untuk bergabung dalam Abraham Accord sebagai pintu untuk normalisasi hubungan dengan negara Zionis itu. Indonesia memiliki tradisi yang sangat kukuh mendukung Palestina merdeka dan berdaulat. Dukungan Indonesia kepada Palestina berdasarkan pembukaan UUD 1945 dan Konferensi Bandung (1955) sudah mengakar sedemikian kuat dalam hati nurani bangsa dan telah menjadi tradisi kepemimpinan nasioanal sejak Presiden Pertama Soekarno. Tradisi Indonesia mendukung Palestina sama kuatnya dengan tradisi Amerika mendukung Israel.

Dalam konteks dan perspektif seperti itu Indonesia perlu ekstra hati-hati dan cermat mengelola desakan ini. Kepentingan nasional adalah yang pertama dan utama. Hanya saja apa yang disebut dengan kepentingan nasional haruslah didefinisikan secara komprehensif. Apalagi Indonesia adalah negara demokratis di mana suara rakyat menentukan suara negara. Termasuk suara negara dalam merumuskan kebijakan internasionalnya. Semoga!

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *