Selalu Kalah di Setiap Pemilu, Ini yang Harus Dilakukan Partai-Partai Islam
Sejak Pemilu pertama yang digelar tahun 1955 sampai sekarang, partai berbasis Islam tidak pernah bisa mengungguli partai nasionalis. Bahkan, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Suli Da’im mengatakan, perolehan suara Partai Politik (parpol) Islam kian menurun dari Pemilu ke Pemilu. Polanya adalah kenaikan suatu partai dibarengi dengan penurunan suara partai lainnya.
“Yang berbasis Islam ada PAN, PKB, PPP, dan PKS, ditambah mungkin Partai Gelora juga partai Umat sebagai partai baru. PKS, PAN, dan PPP identik dengan pemilih Islam modern. Ditambah dengan Partai BBB,” ujar Suli.
Parpol Islam sulit untuk memenangi suara masyarakat jika masih memegang ego masing-masing. Karena suara umat akan terpecah-pecah. Akibatnya, kelompok partai nasionalis yang bakal memegang kekuasaan Pemilu. Parpol nasionalis akan menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat muslim.
“Mulai dari Pemilu 1955 sampai sekarang partai Islam sulit memenangkan pesta demokrasi. Padahal mayoritas penduduknya muslim. Cukup prihatin kita, karena ternyata Partai Islam belum bisa menjawab sepenuhnya tantangan kepentingan umat. Jadi PR (Pekerjaan Rumah) kita sekarang ini adalah bagaimana Partai Islam yang bertebaran itu tidak terpancing egonya masing-masing. Ego mendirikan partai-partai baru karena adanya konflik kepentingan. Sehingga mengakibatkan suara umat terbagi-bagi,” pesannya.
“Sekarang kita lihat Nahdliyin larinya ke PKB Meskipun ketua PBNU mengatakan PKB bukan satu-satunya partai NU. Muhammadiyah juga sama, larinya ke PAN. Maka inilah yang harus diurai dan dicarikan jalan keluarnya. Mencari cara untuk menyatukan Partai Islam, meskipun itu bukan pekerjaan mudah,” imbuhnya.
Dia berpendapat, jika ingin melakukan perubahan mendasar, para politisi harus mulai sadar bahwa partai-partai yang berbasis Islam harus bergandengan tangan untuk menjadi satu kekuatan partai politik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk muslim Indonesia lebih dari 80 persen. Jika semua umat itu memilih parta berbasis Islam, maka semestinya politik Islam akan menang.
Namun faktanya mayoritas penduduk muslim tersebut tidak berpengaruh signifikan bagi partai-partai Islam. Dari Pemilu 1955 sampai Pemilu 2019, hanya Pemilu 1955 saja, partai Islam berhasil menduduki peringkat dua perolehan suara terbanyak, yakni Parmusi (Masyumi). Sedangkan posisi pertama adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
“Bahkan di 2014 kita hitung seluruh perolehan suara partai Islam seluruh Indonesia hanya sekitar 31 persen, dan sebanyak 30 persen pada Pemilu tahun 2019. Berarti ada sesuatu yang salah. Apakah itu karena partai Islam salah menangkap kepentingan di masyarakat? Mungkinkah partai Islam belum bisa menjawab keinginan masyarakat? Atau mungkin karena kondisi perekonomian yang sulit, sementara mereka (Parpol Islam) belum siap berbicara demokratisasi, sehingga yang terjadi adalah lemahnya kekuatan finansial,” urainya.
“Walaupun faktor-faktor itu belum kita lakukan kajian secara mendalam, sesungguhnya problem yang paling mendasar itu apa? Sehingga Parpol berbasis Islam tidak menjadi pilihan alternatif masyarakat untuk menyalurkan kepentingan politiknya,” sambungnya.
Menurut dia, untuk bisa meraih banyak suara, partai-partai Islam harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa partai politik itu merupakan alat untuk melakukan perubahan. “Karena mungkin sekarang ini masyarakat masih memandang bahwa partai politik yang dipilih mereka tidak berpengaruh terhadap kondisi mereka. Ini kan fatal kalau tidak segera kita edukasi masyarakat kita. Bahwa partai politik itu satu-satunya cara untuk mengembalikan dan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini lebih baik,” simpulnya. MTN