#Cerpen

Rosa dan Selembar Kertas Resep

Ichwan Arif*

Siang ini, tepatnya jam 1 lebih tiga puluh delapan menit, Rosa duduk di kursi panjang di barisan kedua dari deretan paling kiri. Selembar resep obat warna putih dengan tulisan latin tinta hitam yang tidak pernah dia dimengerti isinya.

Pandangan matanya sayu ketika menatap pengunjung yang masih antre di Apotik Sehat Dimulai dari Saya. Rosa masih belum (berani) menyetorkan resep ke bagian pelayanan yang dijaga wanita berkaca mata dengan rambut terurai sebahu.

Rosa masih duduk mengatur napas dengan pandangan kosong. Duduknya tidak terlalu tenang, sambil menarik napas. Beberapa saat tangannya membuka dompet merah. Matanya mengamati lembar uang kertas.

Semenjak ada pengurangan pegawai di kantor, Rosa harus memeras otak sekaligus keringat. Ibaratnya, kepala taruh di kaki, maupun kebalikannya. Satu dua bulan, perjalanan ekonominya masih belum menemui kendala berarti. Masih wajar, tidak ada tsunami.

Masuk di pertengahan bulan ketiga, Rosa mulai merasakan, bagaimana beratnya harus menanggung ekonomi sendirian. Dia pasrah. Hidupnya bagai berada di atas sampan dengan riak gelombang.

“Andre, kita tidak ke dokter dulu ya. Nanti ibu yang akan sampaikan ke dokternya,” Rosa sambil mendorong kursi roda. Andre membalas dengan anggukan pelan, merunduk.

“Nanti Andre belajar berjalan dengan ibu ya. Anak hebat pasti bisa.” Rosa mengangguk dengan tawaran senyuman.

Kecelakaan pada bulan Agustus lalu, menjadi petaka kedua bagi Rosa. Tepatnya Februari lalu, suaminya meninggal dunia karena virus Covid-19. Rosa pun tidak bisa mengantar kepergian suami yang telah dinikahi hampir 15 tahun lalu. Dia dan Andre harus jalani isoman di rumah. Dia  hanya menangis sambil menenangkan Andre. 

“Andre harus kuat. Kalau kamu kuat, ibu juga kuat. Ini sudah takdir. Kita harus sabar dengan coban ini,” Rosa menghapus air mata Andre, mengelus kepalanya.

Dalam benak Rosa, kehidupan sudah pincang. Kerja paruh waktu setelah di PHK penghasilannya sangat tipis. Kalaupun  hanya untuk makan, masih bisa, tetapi untuk kebutuhan lainnya, pasti mengalami hambatan yang sangat berarti.

Setelah ditinggal suaminya meninggal, cobaan kembali datang. Andre mengalami kecelakaan setelah mengikuti kegiatan sekolah. Sepedanya ditambrak orang tak dikenal dari belakang. Tubuhnya terlempat sekitar 5 meter. Rosa harus menerima kenyataan, Andre harus berada di atas kursi roda.

“Ibu ambilkan minumannya.”

“Andre bisa, Bu.” Rosa tersenyum. Tangan Andre meraih gelas plastik warna orange.

Berdasarkan hasil ronsen, dokter menyampaikan kakinya patah sehingga harus berada di kursi roda agak lama. Kepala Rosa semakin puyeng, setiap 2 kali setiap bulannya harus membaca Andre ke terapi.

“Dok, apakah diperbolehkan sebulan sekali atau dua bulan sekali Andre saya bawa ke sini. Saya ada masalah keuangan. Mohon dengan sangat, Dok?” pinta Rosa.

Dokter lama merespon.

“Nggak apa-apa, Bu. Dengan catatan, di rumah Andre terus diajari berjalan seperti yang saya berikan di sini.”

Rosa mengangguk

“Terima kasih, Dok.”

***

Suasana apotek sudah mulai lengang. Masih ada 4 antrean yang duduk di kursi paling depan. Tangan Rosa masih memegang selembar kertas resep obat. Rosa masih terus menerka berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk obat Andre.

“Diambil setengah atau seperempat,” ujarnya dalam hati.

Rosa masih menerka uangnya. Cukup atau harus pulang dengan tangan kosong.

“Maaf Andre, Ibu belum bisa menebus obat ini. Maafkan ibu ya, Nak.” Kalimat ini menjadi kalimat pamungkas kalau benar-benar belum bisa menebus biaya obat. Rosa pun menghela napas. Menyingkirkan kata hati yang barusan berkelebat.

Dia berprinsip, obat harus dibawa pulang. Anaknya harus minum obat ini karena beberapa hari sudah tidak minum.

“Kalau putra ibu ingin sembuh, resep obat ini harus ditebus. Obatnya harus diminum sesuai petunjuk.” Rosa hanya mengangguk,

“Maaf, Dok,” ujarnya lirih, pada saat itu.

Setelah kerja paruh waktu, Rosa meniatkan diri menjadi ojol sampai matahari di ufuk barat. Meskinpun tidak terlalu banyak membantu, tetapi masih bisa menambah untuk beli obat Andre.

“Andre, ibu nanti pulangnya sedikit terlambat. Ibu ada perlu dulu. Makan sudah Ibu taruh  di meja. Kamu tinggal ambil. Tidak perlu cuci piringnya. Taruh saja di meja, biar itu tugas ibu.”

“Iya Bu.” Andre melempar senyum kecil.

“Anak pintar.”

“Kira-kira jam berapa ibu datangnya?” tanya Andre.

“Sebelum adzah maghrib berkumandang, ibu usahakan sudah di rumah.” Andre mendekatkan kursi rodanya.

“Sudah seminggu Andre tidak minum obat, Bu?”

Rosa menahan tangisan. Hatinya tersayat-sayat.

“Nanti ketika pulang, ibu pasti membawa obat itu.”

Rosa mendekap Andre erat.

***

“Ibu antrean berapa?”

Pelayan apotek membuyarkan lamunan Rosa. Jam di dinding menunjukkan angka 4. Ini berarti tinggal 1 jam setengah, maghrib tiba. Ini juga penanda Rosa harus memacu sepeda motornya pulang dengan membawa obat untuk Andre.

“Mohon maaf, kalau ambil obatnya setengah berapa, kalau ambil seperempatnya berapa ya?” tanya Rosa, cepat.

“Sebentar, saya hitungkan dulu, ya Bu.” Rosa mengangguk. Matanya melihat deretan obat yang terpajang di etalase.

“Andre, ibu akan membawa pulang obat ini,” ucap Rosa dalam hati. Sambil menunggu konfirmasi pelayan apotek, dia melihat kembali isi dompetnya. Semoga uangnya cukup, tuturnya dalam hati.

“Anak Andre Setiawan.” Rosa gerak cepat.

“Maaf, ibu. Obatnya kosong. Cuma ada satu, itupun anak Andre harus periksa kembali sehingga nanti ada rekomendasi resep baru dari dokternya.”

Rosa hanya bisa menerima selembar kertas kembalian. Dia diam seribu bahasa sambil denyut jantungnya naik turun. Matanya menatap selembar kertas resep di tangannya.

“Apa tidak bisa diusahakan, selain harus periksa kembali ke dokter, Mbak?”

Pelayan hanya menggeleng.

“Kalau begitu, terima kasih.”

Rosa seperti terjatuh dari bangunan lantai lima.

***

Kring, kring

Hp Rosa berdering. Di layar muncul ada pelanggan ojol yang mem-booking-nya. Tanpa pikir panjang, Rosa klik ok. Dia keluar apotek dan langsung tancap gas menemui pelanggan yang lokasinya tidak jauh dari lokasi itu.

“Maaf, Andre. Ibu harus ambil. Ibu pulangnya telat. Semoga bisa dapat uang untuk mengantarkan kamu kontrol dan terapi. Secepatnya ibu pulang.”

            Rosa membelokkan sepedanya menuju Jalan Surakarta. Lokasi pelanggan semakin dekat. Langit semakin gelap. Sebelum laju sepeda sampai ke tujuan, hp Rosa berdering.

Rosa menghentikan sepeda. Tangannya mengambil hp di saku jaket.

“Bu Ros, Andre,” suara Bu Ratih, tetangga depan rumahnya.

Rosa tersentak dan langsung menutup pembicaraan. Secepat kilat, dia memacu sepeda melintasi depan apotek dan rumah sakit daerah. Masih membutuhkan 15 sampai 25 menit untuk bisa sampai di rumah.

Rintik hujan menghujam lembut kaca helm. Hati Rosa semakin tidak tenang. Jalanan semakin ramai. Antrean panjang di perempatan Jalan Dr. Soetomo semakin mengenyitkan dahinya.  

“Semoga Andre tidak apa-apa,” ucapnya dalam hati.

*) Penulis adalah guru SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik

Berkelukur

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *