Kemerdekaan Palsu Indonesia
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Daniel Mohammad Rosyid menyampaikan, bangsa Indonesia perlu berhijrah dari kemerdekaan semu menuju kemerdekaan yang sebenar-benarnya. Menurut dia, negara ini secara kasat mata seolah terlihat merdeka. Namun jika dilihat lebih mendalam, Indonesia masih terkungkung penjajahan. Kedaulatan pangan, energi, dan Sumber Daya Alam (SDA) banyak dikuasai asing.
“Kalau kita melihat proklamasi 1945 sebagai kemerdekaan yang pertama, maka itu kita mengalami kemunduruan secara drastis sejak 1998. Itu konstitusi sebagai pernyataan kemerdekaan diubah secara ugal-ugalan oleh sekelompok orang yang menyebabkan kita kehilangan jati diri. Amandemen UU 1945 adalah praktik murtad terhadap Pancasila. Sampai hari ini, pemurtadan itu makin nyata,” kritiknya.
Dia melihat, nilai Pancasilah sudah terlalu lama rusak. Semua sistem yang ada sekarang ini adalah tatanan dan nilai-nilai barat. Hiruk-pikuk politik saat ini hanya bertujuan untuk mengabdi pada kepentingan investor asing dan penjajah. Maka dari itu, lanjut Daniel, bangsa Indonesia membutuhkan reproklamasi kemerdekaan, agar bisa terlepas dari kolonialisme.
“Sekarang kita memerlukan reproklamasi kalau itu dianggap sebuah hijrah. Artinya memerlukan semangat hijrah meninggalkan jiwa terjajah menjadi merdeka. Kalau Nadiem Makariem mengatakan kita harus merdeka belajar, sebetulnya kita itu masih belajar merdeka,” tuturnya.
Bahkan, kata dia, penjajahan ini menggunakan proxy. Menggunakan boneka-boneka domestik maupun asing juga. Terutama domestik yang tidak turut serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini. Ikut-ikutan saja. Kemudian jadi antek Belanda (barat) sampai hari ini.
“Jadi kalau kita mau merefleksikan makna dari jihad sesungguhnya, yang perlu kita revitalisasi lagi adalah harus belajar merdeka. Islam tentu saja memberi inspirasi. Karena Islam itu sudah menjadi kekuatan bangsa sejak nusantara untuk melawan Belanda sebagai penjajah,” katanya.
Jadi, lanjut dia, Islam memiliki semua konsep dan gagasan yang lebih bisa memperkaya imajinasi. “Islam memperkaya imajinasi para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusuma dan lainnya. Masalahnya sekarang ini banyak elit politik cara berpikirnya tidak secanggih Bung Karno dkk. Sangat miskin imajinasi. Jadi kita mengalami kebuntuan imajinasi. Paling tidak selama sepuluh tahun terakhir,” paparnya. ILMI