Berkelukur
Oleh: Deny Pamungkas
Dalam suasana riuh. Masih terdengar dari dalam gudang penyekapan suara dentuman dan jeritan masa yang semakin lama semakin berkurang. Gelap mulai menelanjangi jalan-jalan, namun asap dan api itu masih dibiarkan menari dibeberapa titik kota Mandalay.
“Jagani?” Terdengar aksen yang aneh.
Bruk!! Suara debam terdengar keras tepat di sampingnya. Sebuah balok kayu melayang di telinga Phut yang seketika terebah di depan Jagani. Darahnya mengalir dari mata. Jagani hanya mendelik tak percaya, suaranya mustahil keluar mengingat tak ada selusin pun air yang masuk di kerongkongan.
“La illah ha illallah..” Parau suara Phut merapal nama Tuhan. Jagani sama payahnya, selama hampir satu hari ia digantung, tak diberi makan sekalipun. Saat ini, hanya ia yang masih bertahan di antara lima lainnya.
“Beri satu nama.” Salah satu lelaki berpakaian ketat mendekati Jagani. Langkahnya gontai dengan alat penyetrum di tangan. Wajahnya pias, tampak seluruhnya sama piasnya. Sehari yang lalu mereka menyeret sekumpulan teroris. Hanya satu nama, tapi itu membuat mereka hampir mati ketakutan.
“Jangan sia-siakan yang satu itu. Hanya gadis itu yang kita punya.”
***
Jakarta. Tiga hari sebelumnya.
“Kakek saja yang pimpin doa.” Jagani tersenyum, tangannya sibuk mencabuti rumput liar.
Wirjo (dibaca: Wiryo), lelaki tua itu menggeleng. Ia terduduk di atas tikar pandan, mengamit tangan istrinya. Perjalanan memang tak terlalu jauh, namun tubuh yang berkarat itu sulit sekali diajak kompromi.
“Kau saja, Ani. Kakekmu kecapekan.” Sahut Clara, perempuan berumur tujuh puluh tahun itu sama payahnya. Matanya menyipit, terlihat setengah mampus menahan kantuk.
Hening sedetik. Jagani menyiapkan kata-kata di otaknya, meletakkan diksi tak agamis dalam sekat-sekat nama Tuhan. Tapi apa kata ex Kamerad Wirjo—kakeknya “Seluruhnya sama. Jangan mendiskriminasi apapun, termasuk kata-kata.” maka jalang dan serapah pun ikut tersebut di antara nama ayah bundanya, begitu kontradiksi dengan sebutan ustazah yang disematkan padanya. Barang cuman satu menit saja doa itu usai, namun sesegukan Jagani yang membuat begitu lama aamiin terucap. Ia pun tak mengerti mengapa sesak dadanya, entah dendam entah kangen atau malah marah sebab terlahir yatim piatu.
Hari-hari menjelang bulan ramadhan. Seperti biasanya, sepasang kekasih tua itu akan menggeret tangan Jagani menuju pemakaman umum Jeruk Purut. Berulang kali Jagani menolak, bukan karena perdebatan antara musyrik dan tidak. Tapi melayat mengingatkan ia harus wajib membenci para aparat, sementara aparat tak bisa dibumihanguskan—malah sebaliknya, tiap tahun ia menjamur di sudut-sudut kota besar.
“Ayahmu mati dengan terhormat. Ribuan doa dan tangkai mawar mengelilingi hari pertama pemakaman. Ia bersama bundamu menyuarakan suara orang-orang pinggiran, tukang becak, pedagang asongan, penjaga toko kelontong bahkan para akademisi yang menganggur pun masuk dalam list mereka. Tapi sayang seribu sayang, suara itu dibalas selongsong kosong—pelor menembus kepala ayahmu. Dan bundamu berlarian dengan yang lain seperti kelinci dikejar anjing.” Wirjo bercerita selama perjalanan pulang. Cerita yang sudah dihafal Jagani setengah mati. Sebab cerita itu menjadi dongeng buruk sebelum tidur di masa-masa kecilnya.
Namun meski begitu, sepenggal kisah itu adalah wajah dari ayah dan bunda Jagani. Sebab ia bahkan tak pernah tau bagaimana suara nafas orangtuanya. Sebab kata Wirjo juga bahwa bundanya tak lama ikut mati setelah melahirkan Jagani akibat depresi berkepanjangan. Semenjak itu, Jagani harus rela disapih bahkan sebelum umurnya genap tiga bulan. Wirjo dan Clara mati-matian menangani Jagani, sebab mereka pun bekas komunis yang identitasnya dicap merah. Mereka menghidupi dirinya pun kesusahan, hanya mengandalkan kaleng bekas. Kini sepasang tua itu menyaingi umur nabi ketika wafat, tahun-tahun setelahnya bakal jadi momentum menegangkan—mengingat umur berikutnya adalah bonus yang diberi Tuhan.
Setelah tiga puluh menit berdesak-desakan di dalam satu bangku bajai tetangga. Akhirnya rumah yang menyatu dengan masjid itu terlihat. Warna hijau tua, selasarnya lebih rendah dari genting rumah manapun. Sebab harusnya itu adalah gudang pekakas masjid.
“Terimakasih, pak Slamet.” Jagani mendahului. Remaja sembilan belas tahun itu menuntun kakek-neneknya memasuki rumah. Sedang ia selama satu tahun lebih tinggal di asrama kampus. Setiap subuh dan malam kembali hanya untuk membuat sarapan dan memandikan neneknya.
“Oh ya. Nanti sore libur atau masuk ngajinya, Ani? Anak-anak tanya dari kemarin.”
Hening sesaat. Jagani masih sibuk menurunkan beberapa tikar dan tas besar dari atas bajai.
“Mohon maaf, Pak. Sepertinya libur dulu. Ani masih ada urusan di kampus.” Dengan tersenyum Jagani menjawab pelan.
Seorang anak berlarian dari dalam rumahnya. Wajahnya sumringah demi melihat Jagani pulang, sampai-sampai sandalnya terlepas dan ia tak peduli.
“Ustazah Ani. Kenapa seminggu ini absen terus. Lihatlah aku sudah lupa ayat 218 Al Baqarah. Bagaimana ini, coba.” Dengan bersungut-sungut anak itu menggoyangkan hijab Jagani. Umurnya tak kurang enam tahun.
“Heh, Aisha. Masuk!”
Belum sempat Jagani menjelaskan. Pak Slamet mendahului, memarahinya habis-habisan karena tak ada sopan santun sama sekali.
“Pak, biarkan tidak apa-apa.” Jagani menekuk lutut, kepalanya menyamai kepala Aisha. Dengan tatapan paling teduh, “Ais, ustazah sedang sibuk. Tidak tahu kapan mengajar lagi. Tolong kabarkan pada teman-teman yang lain ya. Ais, ayat itu sangat penting. Jangan sampai lupa. Nanti guru marah, untuk ujian minggu ini, kan?”
Aisha mengangguk-anggukan kepalanya. Mencoba mengerti. Menatap bapaknya yang semakin geram karena Aisha membuat Jagani mengotori gamisnya dengan jongkok.
Besoknya di sore yang hangat.
“Biar mereka urus sendiri surganya, nak. Setelah ayah-bundamu jangan juga kau. Kami sudah tua. Sudah cukup kami patah hati karena menyemayamkan saudara, anak bahkan sekarang kau ingin menuju kuburmu sendiri? Astagfirullah.” Clara menangis, mengusap-usap kepala Jagani yang tenggelam dipahanya. Wirjo menatap jendela luar, mengernyitkan dahi—menahan tangis. Anak dengan bapak tak ada bedanya, keras kepala.
Maka dengan bus yang berhenti diujung gang dan belasan lusin relawan dari kampus. Ia menuju bandara Soekarno-Hatta. Menuju Mandalay.
***
Mandalay, Myanmar. Satu minggu setelah kudeta digaungkan.
“Jadi gadis kecil. Siapa nama itu?” Salah satu orang berpakaian ketat mendekati Jagani. Salah satu agen terlatih pemerintah Myanmar. Pemerintahan sudah dilumpuhkan, namun beberapa orang kepercayaan masih bisa sembunyi-sembunyi.
Pihak bandara mengonfirmasi memang ada beberapa pasukan yang dikirimkan dari negara asing, entah melalui bandara domestik atau yang tertangkap radar mendarat di daerah-daerah strategis. Dan sialnya, setelah menapaki ubin bandara—Jagani dan lainnya diseret memasuki beberapa mobil taktis. Berulang kali Jagani mengatakan bahwa dia dan yang lain tak ada hubungannya dengan bantuan asing untuk meruntuhkan imperior yang berlaku saat itu. Gerakan mahasiswa ini hanya untuk ikut parade save muslim Rohingya. Tapi bebal, para agen terlatih itu tetap membawanya di suatu barak.
“Atas nama?”
“Allah.”
DOR!!
***
Matahari masih sepenggalah dari kaki-kaki gunung. Wirjo dan Clara menekuk lutut di kasurnya. Tiga tahun mereka menunggu cucu satu-satunya itu. Tiap subuh berharap-harap cemas akan ada bunyi berisik di dapur dan aroma sambel bajak yang membuat perut mereka lapar. Tapi nahas. Mereka hanya mengandalkan tetangga yang mau berbagi menu sarapannya sedikit. Clara lebih mengenaskan, jika kebetulan Wirjo masih kuat membopongnya menuju kamar mandi ia baru mandi. Jika tidak, maka begitulah adanya. Sebab tetangga mungkin tak ada yang sudi untuk memandikannya. Anak-anak masjid pun sama sedihnya. Mereka kehilangan guru ngaji paling cantik dan paling sabar.