Apakah Takdirnya?
Oleh: Siti Agustini
Hidup ini sesungguhnya lepas dari logika. Dan malam ini aku memikirkannya sendiri di atas ranjang empuk yang sudah kubeli sebulan lalu. Yah memang, berjalan dari satu misteri ke misteri lainnya. Apa yang kulihat kini memenuhi ruang di kepalaku. Tapi tak kutemukan jawaban yang logis. Yang ada hanyalah imanku terhadap takdir Allah.
Kutarik selimutku siap untuk tidur, namun tak juga terpejam mata ini. Ya Allah, kok jadi begini, sih! Aku sangat lelah, tapi otakku tak memberi sinyal pada mataku untuk mau terpejam. Aku ingin tidur, tapi tak bisa juga. Kupeluk erat bantal panjangku. Biasanya dengan aromanya yang tercium, aku sudah terbius. Tapi, malam ini aroma bantalku malah memerintah mataku untuk tetap terjaga. Bagaimana ini?
Aku beranjak dari ranjangku. Langkahku menuju ke meja komputer. Main game sajalah! Biar mataku lelah dan aku bisa tidur. Tak lama pun aku sudah mulai asyik bermain. Klap! Lo, kok gelap? Aku tak bisa melihat apa-apa. Kayaknya listrik padam. Untuk kesekian kalinya PLN tak permisi, main padam saja. Klap! Oh terang kembali! Listrik Kembali nyala dan….Astaghfirullah! Mengapa aku sekarang sedang duduk di atas sadel motorku yang sedang melaju? Ada apa ini?
Segera kukuasai motor agar tak oleng. Dari kejauhan, kulihat badut macan sedang duduk di trotoar sambil memegang kaleng. Ya, aku ingat! Setiap aku berangkat kerja, selalu kulihat ia. Setiap hari ia duduk di trotoar itu dan memegang kaleng, meminta belas kasihan pejalan kaki. Ia juga bagian dari menit hidupku yang memenuhi ruang di kepalaku. Mengapa kau mencari hidup dengan hanya duduk dan menunggu recehan uang. Bukankah itu adalah ketidakpastian? Ah!
Begitu dekat dengannya, motor perlahan berhenti. Tepat di depannya! Aku pun turun dan menaruh uang seratus ribu ke dalam kalengnya. Sang badut melihat isi kalengnya dan terdengar suara lirihnya. Ia berterima kasih padaku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku pun duduk di sebelahnya. Kuucapkan salam dan minta izin bisa berbincang dengannya.
“Ada apa, Nak? Terima kasih sekali lagi,” ujar badut ini meresponku. Ternyata ia laki-laki.
“Bapak, apa tidak kepanasan pakai kostum badut kayak gini?” tanyaku.
“Ya panas, Nak. Hanya saja ini yang bisa saya lakukan untuk bisa makan dan bayar sewa baju badut ini. Mau kerja yang lain, saya tak bisa.”
“Lo, kostum badut ini sewa? Maaf, Pak! Mengapa Bapak tidak memilih pekerjaan yang lain?”
“Tubuh saya ini lemah, Nak. Kaki sudah tak kuat untuk menyangga tubuh kalau lama berdiri atau jalan. Jadinya ya begini! Saya tahu ini pekerjaan yang hina. Mengemis itu hina. Tapi saya tak punya pilihan yang lain.”
“Bolehkah saya minta Bapak melepas kepala badut macan ini, Pak?”
Ia hanya mengangguk. Kedua tangannya pun melepas kepala badut macan dari kepalanya. Oh, ternyata ia memang sudah lanjut. Guratan ketuaan dan kelelahan memenuhi wajahnya. Lusuh!
“Maaf Bapak! Keluarga Bapak di mana?”
“Saya tak punya siapa-siapa, Nak! Istri sudah lama meninggal dan saya tak punya anak. Sanak keluarga pun tak tahu di mana. Dari kecil sudah hidup susah bersama orang tua. Sejak kecil, saya sudah mengemis. Bisanya ya begini.”
Mulaiku mencatat. Bapak badut dilahirkan dari keluarga miskin. Orang tuanya pengemis. Mereka tak bisa menyekolahkan anaknya, sehingga mengemis jadi pilihan hidup. Kalau Bapak badut diminta memilih, pasti ia akan memilih lahir dari keluarga berpendidikan dan kaya. Bagaimana ya Rabb?
“Bapak, masih ada waktu untuk berubah. Maukah, Pak? Bapak saya antar ke panti jompo. Nanti di sana, Bapak akan memiliki keluarga baru. Selain itu, Bapak akan belajar banyak hal. Tak membutuhkan biaya untuk masuk di situ,” kataku meyakinkan sang Bapak. Tiba-tiba saja terbesit. Panti jompo!
Terlihat kebingungan di wajah renta itu. Ia menatapku seolah bertanya, benarkah?
“Baiklah, Nak! Saya percaya pada kamu!”
“Mari Bapak saya antarkan ke sana, “ ujarku sambil beranjak berdiri. Kubantu Bapak badut berdiri. Kuambil tasnya dan kuminta untuk duduk di belakangku. Aku pun menyalakan motorku dan roda pun mulai menggelinding untuk menapaki jalan raya. Bapak Badut melingkarkan dua tangannya dengan erat. Entah apa yang kurasakan ini. Mungkin bahagia karena dapat menolongnya. Juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku tentang dia. Senyumku mengembang dan roda motorku masih beradu dengan waktu.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba pandangan mataku berputar. Aku hanya bisa pasrah dengan menyebut nama-Nya, mengikuti arus putaran. Lima menit kemudian, terasa tubuhku tak lagi berguncang.
“Assalamualaikum, Nak.”
Kudengar suara wanita renta. Kubuka mataku. Kini aku berada di dekat wanita renta yang duduk di kursi roda. Hah, Astaghfirullah! Apa yang terjadi padaku?
“Waalaikumussalam, Nek!” balasku menyapanya.
“Kamu tiba-tiba berada di dekat nenek. Sepertinya kamu dikirim Allah untuk mendengarkan cerita nenek. Tak ada orang yang tahu, selain suami dan anak-anak nenek. Maukah Ananda mendengarkan cerita nenek?”
Kulihat matanya berkaca-kaca. Sepertinya nenek ini ingin menumpahkan bebannya kepadaku. Mungkin nenek ini juga perwujudan dari pertanyaan-pertanyaanku saat ini.
“Silakan, Nek! Saya mau mendengar semua cerita Nenek,” jawabku sambil kujabat tangannya dan kucium punggung tangannya. Aku pun duduk bersila di lantai. Cukup dingin lantai ini.
“Nenek lahir dari keluarga ningrat. Namun ibu nenek meninggal dunia, saat nenek berusia 1 tahun. Bapak akhirnya membawa nenek pergi. Jauh dan selalu berpindah-pindah. Keluarga besar dari ibu nenek selalu mencari dan tak menemukan nenek. Mereka mau mengasuh nenek sebenarnya, tapi tak kuasa dengan keadaan saat itu. Nenek pun tinggal bersama Bapak dengan keluarganya yang biasa saja. Bisa dikatakan miskin, karena Bapak tak mampu menyekolahkan nenek.”
Kutatap wajahnya. Mata Nenek menerawang jauh. Hatiku mulai terenyuh.
“Setelah Bapak nenek menikah lagi, ibu tiri nenek mengajak nenek bekerja di warung makan. Saat itu nenek sepertinya berusia sekitar 8 tahun. Mulai dari cuci piring, menyapu ruang restoran, mengupas kulit bawang merah dan putih, dan pekerjaan lainnya. Intinya pekerjaan yang bisa dikerjakan seorang anak kecil. Cukup lama sampai nenek bisa belajar tentang bumbu-bumbu masakan di warung makan. Cukup lama nenek bekerja bersama ibu tiri nenek di warung makan itu.”
Nenek berhenti sejenak. Diteguknya air putih di gelas yang dipegangnya sejak tadi.
“Lalu, nenek saat berusia 19 tahun, diajak bekerja sepupu. Kalau istilah sekarang asisten rumah tangga di sebuah keluarga. Setahun kemudian, nenek dinikahkan dengan sepupu nenek itu oleh majikan. Jadilah kami suami istri, bukan sepupu lagi. Kami di keluarga itu dianggap keluarga sendiri, hingga kami mengabdi puluhan tahun. Kami memiliki 5 anak. Keluarga majikan pun ikut membesarkan anak-anak kami. Biaya pendidikan dibantu sampai anak-anak kami menjadi sarjana. Alhamdulillah. Selain itu, nenek dipertemukan kembali dengan keluarga besar ibu kandung nenek oleh Allah. Bahagia. Itu cerita nenek, Nak!”
“Nenek dari kecil sudah berjuang, ya! Semoga Allah membalas kesabaran Nenek dalam mengarungi kehidupan yang special itu. Saya yakin Allah punya rencana yang baik sekali untuk Nenek!” ujarku kepada Nenek yang matanya basah oleh air matanya.“ Nenek sangat bahagia, walau hidup nenek penuh dengan liku-liku, anak-anak nenek membanggakan. Nenek sekarang sudah sakit-sakitan, Nak! Mungkin karena tubuh Nenek sudah lelah. Sakit jantung, syaraf, dan osteoporosis. Nak, Nenek ingin sekali umrah atau haji, tapi tubuh nenek sudah begini,” tambahnya sedih.
Air mataku meleleh. Cepat-cepat kuhapus, agar Nenek tidak bertambah kesedihannya.
“Nenek ini tak ingin merepotkan anak-anak nenek. Bagaimana kehidupan anak-anak Nenek, tak mungkin Nenek memintanya. Sekarang Nenek pasrah, walaupun keinginan itu masih ada.”
Terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Mereka berempat bersimpuh dan mencium pipi nenek bergantian. Mata mereka basah. Ternyata mereka adalah anak-anak Nenek.
Tangisan pun pecah. Kularut dalam tangisan. Kuharap Allah mengabulkan permintaannya ke tanah suci. Aamiin…
“Nek…!”
Kembali aku hanyut di putaran arus. Tak tahu yang terjadi padaku. Dan pertanyaanku masih sama. Apakah ini takdirnya? Betulkah..?