Direktur LSI: 30 Persen Masyarakat Anggap Money Politic Wajar
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan, money politic masih gencar dilakukan. Karena masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggapnya lumrah.
“Kalau di dalam riset, yang menganggap politik uang itu hal yang wajar mencapai 30 persen. Jadi masyarakat banyak yang menganggap bahwa kandidat memberi uang pada pemilih itu sesuatu yang wajar,” katanya.
Meski demikian, dia berpendapat money politic tidak sepenuhnya efektif. Pemilih juga melihat faktor-faktor lain, seperti rencana kebijakan yang akan dibuat serta latar belakang kandidat. “Kalau semua kandidat melakukan money politic, lalu pemilih gimana milihnya? Apakah milih ke yang ngasih uang lebih banyak? Apakah yang ngasih pertama kali atau terakhir? Jadi selain pragmatis yang dikaitkan dengan masalah uang, faktor-faktor terkait program kerja dan rekam jejak sang kandidat itu juga memengaruhi keputusan pemilih,” terangnya.
Secara teori ada empat macam tipe pemilih, yaitu rasional, sosiologis, psikologis, dan pragmatis. Pemilih rasional mendukung kandidat berdasar rekam jejak dan program kerja. Pemilih sosiologis memilih berdasarkan faktor kedekatan agama, sosial, etnis, kedaerahan, dan gender. Sedangkan pemilih psikologis, menentukan pilihannya pada kandidat yang memiliki kedekatan dengannya atau dengan partai tertentu.
“Kalau pragmatis, itu berdasar kepentingannya. Pragmatis transaksional, misalnya, itu diukur dari politik uang. Pemilih di Indonesia tidak bisa digolongkan sebagai tipe tertentu. Si A pragmatis, B rasional, si C sosiologis. Tidak bisa begitu. Tapi gabungan dari berbagai hal itu” tuturnya.
Dia melihat, para kandidat berkampanye dengan cara memadukan antara gagasan dan gimik politik. Sayangnya, program yang dibuat oleh para kandidat cenderung sama. Karena itu, pemilih jadi kesulitan untuk membedakan. Akibatnya, gimik politiknya menjadi lebih menonjol daripada gagasannya.
“Perhatikan misalnya, semua ingin pendidikan gratis, sekolah gratis, kemudahan akses kesehatan, mendukung UMKM. Itu jadi program milik semua kandidat. Sehingga para pemilih tidak bisa membedakan dengan jelas antar kandidat dari sisi yang sifatnya program. Jadi gimik-gimik politik itu laku bukan karena pemilihnya emosional. Tapi karena kandidat satu sama lain tidak membedakan diri dari sisi program.” terangnya.
Menurut Djayadi, membuat program yang menarik dan berbeda itu memang sulit. Sehingga para kandidat pada umumnya tidak menonjolkan itu. Kebanyakan kandidat mencari cara kampanye yang mudah, salah satunya dengan melahirkan gimik-gimik tersebut. Misalnya gimik gemoy dan riang gembira milik Prabowo – Gibran. Lalu Mahfud dan Ganjar yang aktif di media sosial Tiktok. Sementara Anies dan Cak Imin membuat gimik dengan main slepet sarung.
“Jangan menyalahkan pemilihnya saja. Itu salah kandidat juga. Itu kandidatnya tidak mau kerja keras. Maunya yang mudah-mudah, salah satunya dengan gimik. Karena kalau membuat program yang berbeda kan tidak mudah. Tidak gampang bikin program menarik. Yang mudah itu bikin program yang sifatnya umum. Misalnya dalam debat Capres (Calon Presiden), apa perbedaan gagasan antar capres? Nggak ada. Sehingga kampanye atau pola sosialisasi kandidat kita lebih banyak gimik. Banyak-banyakan spanduk. Banyak-banyakan baliho. Karena itu yang paling mudah dilakukan dan mungkin dianggap menarik. Padahal belum tentu juga pemilih maunya cuma itu,” ujarnya. ILMI