Busyro Muqoddas: UU Pemilu Sumber Petaka Nasional
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai UU Parpol, Pemilu, dan Pilkada sebagai sumber petaka nasional. Karena regulasi itu menyebabkan biaya politik membengkak. Lalu adanya kebijakan presidential threshold yang telah mengorupsi sumber daya pemimpin. Banyak orang yang kepemimpinannya teruji di masyarakat sipil tidak mungkin menjadi calon presiden, karena tiga UU itu.
“Kami juga terus mengritisi soal pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) yang bermasalah. Lalu yang terbaru adalah soal penambangan di Wadas. Sejumlah UU yang dibuat di era Jokowi, itu memang dibuat tanpa naskah akademik yang clean, clear, dan uji publik secara proporsional,” urainya.
“Misalnya juga tentang RUU Cipta Kerja. Muhammadiyah sudah memberikan kritik secara akademis. Sudah disampaikan kepada presiden. Tapi kan presiden jalan terus. Sikap serupa ditunjukkan presiden ketika terjadi pelumpuhan KPK. 57 pegawai KPK dipecat tanpa alasan moral dan hukum yang benar. Melihat itu, presiden hanya diam saja. Karena itu, kami jadi semakin meragukan pemberantasan korupsi di era Jokowi,” sambungnya.
Meski pemerintah cenderung abai, namun Persyarikatan tetap istiqomah menyampaikan kritik-kritiknya. Muhammadiyah tidak akan berhenti mengingatkan. Supaya itu juga bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat. Busyro menjelaskan, dalam teori kejahatan jika orang tahu suatu kejahatan diam saja, maka dia merupakan bagian dari kejahatan tersebut. Itu asas dalam hukum pidana. Begitu juga dengan yang diajarkan oleh Agama Islam. Untuk itulah Muhammadiyah tidak akan diam melihat problem-problem bangsa.
“Tidak hanya dari Muhammadiyah, tapi juga unsur masyarakat sipil lainnya memang sengaja tidak direspon oleh pemerintah. Justru dari situ timbul pertanyaan, presiden ini tahu tidak? Menghargai tidak dengan prinsip negara hukum? Itu tertuang dalam UUD 45 bab 1 pasal 1 ayat 3, bahwa negara hukum berbasis pada demokrasi. Demokrasi berbasis pada check and balances. Demokrasi tidak bisa berjalan kalau tanpa kejujuran. Nah, sekarang praktek demokrasi di era Jokowi itu lihat saja. Jadi faktanya pemerintah itu sama sekali tidak menghargai kritik,” ujarnya.
“Tapi kritik itu tetap kita sampaikan. Soal pemerintah mengabaikan, itu karakter pemerintah akibat didominasi oleh dua oligarki. Yakni oligarki bisnis dan politik. Oligarki bisnis itu dulu disebut sembilan naga. Sekarang mengkristal menjadi tujuh samurai. Orang-orang di balik inilah yang namanya tidak pernah disebut, tapi hampir semua aktivis tahu. Dominasi itu yang kemudian menyebabkan kritik ini tidak bisa masuk. Karena pemerintah sudah berutang budi. Masuk perangkap dalam sistem percaloan yang dikuasai oleh rentenir-rentenir politik di level Pilkada sampai Pilpres. Ada kok bukti korupsinya, dari pemerintah pusat sampai daerah. Itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak memerlukan kritik. Sedangkan melecehkan kritik itu hakikatnya menistakan demokrasi,” sambungnya.
Melihat kondisi politik yang semakin kisruh, sejumlah pihak mendorong Muhammadiyah untuk terjun di politik praktis agar bisa berperan lebih banyak dalam menata negara. Namun, Persyarikatan memastikan bahwa organisasi ini tidak tergiur. Karena, masuk dalam politik praktis juga belum tentu mampu memberikan perubahan. Bahkan, justru bisa terpasung dengan dengan sistem politik yang ada saat ini. Muhammadiyah lebih memilih untuk tetap istiqomah bergerak di sektor pencerdasan masyarakat sipil, di bidang sosial pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan. Gerakan ini diharapkan melahirkan kader-kader berkualitas yang bisa menjadi modal berharga untuk memperbaiki dan memajukan negara di masa mendatang.
“Sekarang kan sudah banyak kader yang ada di pemerintahan maupun legislatif. Tapi tidak efektif juga dalam turut serta memperbaiki negara. Mereka malah ada yang masuk dalam perangkap, sistem, kultur, dan proses politik yang tidak memugkinkan orang-orang baik turut serta. Mereka masuk itu hanya sebagai pelengkap penyerta. Kadang-kadang pelengkap penderita. Kalau nggak bisa mempengaruhi, lebih baik mundur saja dan tetap berkhidmat di Muhammadiyah dengan AUM-nya. Terutama perguruan tinggi yang harus menjaga independensinya. Terus melakukan riset yang komparatif. Misalnya riset tentang IKN. Itu kan belum ada. Bukan berarti Muhammadiyah jadi oposisi, tapi kekuatan kritik yang etis dan konstruktif. Tidak ada oposisi dalam Muhammadiyah,” tegasnya. ILMI