#Artikel 1 #Dakwah

Biar Hari Raya Bareng Terus, Kenapa Tidak Buat Kalender Islam Global Saja? Ini Penjelasannya

Wakil Ketua Bidang Tarjih dan Tajdid, Kepesantrenan, Haji-Umrah PWM Jawa Timur Syamsuddin menjelaskan, hingga kini belum ada kesepakatan yang menyatukan sistem penanggalan dalam kalender Islam secara konsisten.

Kendala dalam penerapan gagasan tersebut terletak pada perbedaan pendapat di antara para pakar ilmu falak dan astronomi. Sebagian menganggap tidak perlu melakukan penyesuaian terhadap kalender secara global, melainkan lebih baik menggunakan kalender lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Dengan demikian, perbedaan pandangan ini menimbulkan ketidaksepakatan dalam mengadopsi suatu konsep yang universal.

“Yang perlu diperhatikan kita ketahui bahwa umat Islam telah mengalami satu peradaban selama 14 abad lebih. Tapi, faktanya belum ada satu upaya yang berhasil untuk menciptakan kalender Islam yang bersifat universal, yang bisa dipakai di negara manapun dan kapan pun. Padahal salah satu tonggak yang menandai bahwa umat Islam itu memiliki peradaban yang dibanggakan adalah dengan adanya kalender universal,” terangnya.

Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut menjelaskan karena belum adanya kalender yang bersifat universal, maka menyebabkan ada beragam kalender. Karena berangkat dari perbedaan sistem perumusan, akhirnya menyebabkan variasi dalam penentuan tanggal qomariah. Meskipun ada kalender global seperti kalender Urfi yang didasarkan pada perhitungan tertentu, namun belum bisa menjawab problem yang muncul. Sebab kalender ini tidak sepenuhnya autentik dan tidak selalu sesuai dengan pergerakan faktual bulan di langit.

“Pada tahun 2004 ada tokoh namanya Jamaluddin Abd ar-Raziq yang menyusun kalender global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia ya dengan kriteria ijtimak sebelum pukul 12.00 tengah malam. Nah kemudian kalender global unifikatif ini diadopsi oleh semacam asosiasi pakar astronomi namanya The Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO) melalui temu pakar tahun 2009 di Rabat, Maroko. Kalender itu digodok dan diperbaiki,” jelasnya.

Upaya tersebut juga memantik dilangsungkannya sebuah konferensi internasional terkait penyatuan kalender Islam di Istanbul, Turki pada tahun 2016. Hasil konferensi ini pada akhirnya tidak menemukan kesepakatan. Namun dari sini semakin menguat keinginan umat Islam untuk memiliki kalender yang dapat bersifat universal.

“KHGT ini arahnya juga agar kita tidak ribut lagi perihal masalah penentuan kapan satu Ramadhan maupun satu syawal itu. Maka KHGT harus segera dirumuskan. Masalahnya kan tidak semua kelompok di dalam Islam ini yang sepakat. Ada yang masih fanatis dengan rukyat, menolak hisab, dan lain sebagainya. Namun bagaimana pun yang namanya menyusun kalender itu dasarnya adalah hisab. Implementasi KHGT perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak. Dan, ini juga adalah salah satu amanat Mukatamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar,” pungkasnya.

Ketua Lembaga Falakiyah PBNU KH. Sirril Wafa berpendapat, pembentukan kalender Islam global akan sulit terwujud, sebab di Indonesia saja seringkali masih mengalami perbedaan.

“Buatlah isu atau ide yang sekiranya membawa maslahat dimulai dari scope kecil menuju yang besar. Kalau scope yang kecil saja tidak kunjung bersatu, bagaimana bisa melompat terlalu jauh. Namun, jika ide semacam ini diselesaikan dulu di tingkat lokal atau nasional, saya kira akan lebih baik prosesnya. Soal nanti akhirnya disepakati atau tidak, itu urusan lain,” kata dia.

Di NU, Kiai Wafa mengaku KHGT belum menjadi prioritas bahasan. Dalam beberapa Muktamar PBNU, gagasan untuk menyamakan kalender Islam tidak menjadi pilihan, bahkan ditolak.

“Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum menyamakan kalender Islam global. Misalnya, yang namanya global ya diterima seluruh negara yang berpenduduk Muslim. Siapa yang bisa menjamin seluruh negara mematuhinya? Siapa yang menjadi dirigennya yang dijamin akan diikuti oleh semuanya? Sebuah konsep yang akan diterapkan secara global harus disiapkan segala infrastrukturnya secara komprehensif. Itu masih jauh dari jangkauan. Di dalam negeri saja awal puasa atau berlebaran bisa terjadi lebih dari tiga hari berturut-turut. Ini cukup menjadi ironi,” katanya. UBAY, ZAKI, SYAHRONI

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *